Minggu, 23 Agustus 2009

SEJARAH BANDUNG


Oleh: A. Sobana Hardjasaputra

Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.

Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).

Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.


Berdirinya Kabupaten Bandung

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.

Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.

Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.

Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.


Berdirinya Kota Bandung

Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).

Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.

Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.

Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.

Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.

Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.

Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.

Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).

Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.

Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)

Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.

Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).



Sumber: Kota-kota Lama di Jawa Barat
Penerbit: Alqaprint Jatinangor

NILAI BUDAYA LOKAL DALAM PENDIDIKAN


Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.

“Think Globally, Act Locally” tulis Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Globall Paradox. Kata-kata tersebut sederhana tetapi mengandung makna yang dalam bagi kita semua yang tengah berada dalam persaingan global. Maksud dari dua kalimat tersebut adalah jika kita ingin sukses dalam persaingan Global, maka kita harus mampu berfikir secara global tetapi berperilaku dan bertindak lokal.
Kenyataan dewasa ini menunjukkan dunia seolah tanpa batas, berbagai pengaruh global melalui berbagai media informasi masuk mempengaruhi kita tanpa mampu kita hambat, baik positif maupun negatif, yang jika dibiarkan tanpa kendali maka nilai budaya setempat atau lokal akan tergerus hingga akhirnya hilang dari permukaan bumi.
Selain akibat pengaruh global, tergerusnya nilai-nilai setempat juga disebabkan oleh pengaruh yang datang dari para pemukim baru atau para pendatang, dimana mereka mempertahankan nilai yang dibawa dan dianutnya tanpa mau memperkaya diri dengan nilai lokal di tempat dimana mereka hidup dan tinggal. Mereka menganggap tempat yang didiaminya kini bukanlah tanah tumpah darahnya, hanya sebagai tempat menumpang hidup.
Akibatnya, mereka tidak perduli dengan kondisi sekitar yang dipentingkan hanyalah diri dan kelompoknya. Padahal leluhur kita telah mewariskan sebuah nilai yang universal, yaitu “Dimana bumi dipijak, maka di situ langit di junjung”. Ungkapan tersebut sangatlah sederhana tetapi makna yang dikandungnya sangat mendalam dimana orang yang “bubuara” di tanah orang harus mampu menghormati dan menghargai serta menjadikan nilai tradisional setempat sebagai pegangan hidupnya. Jika berhasil mengimplementasikan pepatah tersebut pastilah dia akan memperoleh suatu keberhasilan dalam menggapai asa dan cita di negeri orang.
Kenyataan yang muncul ke permukaan sebagai akibat dari semakin tergerusnya nilai budaya setempat atau lokal adalah posisinya yang semakin termarjinalkan terutama di mata generasi muda. Mereka menganggap nilai budaya tradisional adalah sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman serta sudah tidak mampu untuk bersaing di tengah-tengah persaingan global. Karena mereka bertanggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah baik dan harus diikuti bahkan dijadikan pegangan hidup sehari-hari. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua nilai yang masuk dari luar adalah positif bahkan lebih banyak yang negatif dan bertentangan dengan norma dan nilai budaya lokal.
Penggerusan nilai budaya setempat atau lokal dapat kita lihat dari semakin menggejalanya budaya negatif yang terjadi di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, diantaranya :
1. Perilaku fandalisme atau hologanisme seolah sudah menjadi bagian dalam kehidupan Masyarakat, terutama generasi muda. Pengrusakan dan penjarahan terhadap hak orang lain seolah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sebagian kelompok anak muda dalam melampiaskan kekesalannya, bahkan tidak sedikit nyawa orang lain jadi sasaran.
2. Menurunnya rasa bangga dan rasa memiliki terhadap lingkungan tempat dimana mereka tumbuh dan berkembang. Perilaku ini tampak dari menurunnya rasa peduli sebagian generasi muda kita terhadap lingkungan sekitar.
3. Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong pada generasi muda, karena semakin tergeser oleh nilai individualis dan nilai materialis. Segala sesuatu diukur dengan ukuran materi atau uang.

Kenyataan tersebut seolah menyadarkan kita akan pentingnya mentransformasikan nilai-nilai tradisional kepada generasi berikutnya agar nilai-nilai tersebut tidak menguap ditiup oleh perkembangan jaman. Upaya yang dapat dilakukan guna melestaraikan nilai-nilai tradisional, salah satunya adalah melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan wujud nyata dalam upaya pentransformasian nilai kepada generasi berikut.

Pengintegrasian Nilai Lokal dalam Proses Pembelajaran
Upaya untuk melestarikan nilai budaya setempat sebenarnya sudah ada, yaitu melalui pengintegrasian nilai-nilai lokal dalam kurikulum nasional. Pengintegrasian tersebut tujuannya adalah agar siswa dalam perkembangan dirinya sebagai Insan Indonesia yang modern tidak tercabut sama sekali dari akar lingkungan sosio-budayanya sendiri.
Kenyataan dalam realisasi di lapangan menunjukkan, kurikulum muatan lokal sering kali ditafsirkan secara keliru dan menyimpang jauh dari tujuan utama serta hanya diwujudkan melalui mata pelajaran muatan lokal, seperti bahasa dan keterampilan daerah. Akibatnya, keberadaan Muatan lokal dalam kurikulum seolah hanya menjadi pelengkap belaka bahkan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai beban yang kurang bermanfaat bagi siswa sehingga diganti dengan mata pelajaran lain yang lebih “menjual”, seperti bahasa inggris atau keterampilan Komputer.
Pengintegrasian potensi lokal dalam materi pembelajaran seolah sulit untuk diwujudkan karena padatnya materi dalam kurikulum nasional. Kenyataan ini berdampak semakin jauhnya siswa dari tata nilai budayanya sendiri. Kurangnya kebanggaan terhadap budaya dan lingkungan dimana dia hidup berakibat pada semakin tergerusnya nilai budaya lokal yang tumbuh di tengah masyarakat, padahal nilai budaya tersebut merupakan akar bagi nilai budaya nasional. Rendahnya pemahaman siswa terhadap nilai budaya lokal dapat terlihat pada :
1. Siswa kurang memahami kondisi lingkungan di mana mereka tinggal, seperti mereka tidak mengenal sejarah, kondisi geografis serta potensi ekonomi yang dimiliki daerahnya.
2. Kurangnya rasa bangga terhadap daerahnya. Pada diri mereka tumbuh anggapan bahwa sesuatu yang datang dari luar lebih baik, sedangkan nilai budaya yang ada di lingkungannya dianggap ketinggalan jaman.
3. Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong karena tergeser oleh sikap individualis dan materialis yang dihembuskan melalui globalisasi
4. Semakin lemahnya rasa persaudaraan yang tampak dari semakin meningkatnya angkat tawuran dari hari ke hari.
5. Kurangnya penghargaan terhadap budaya setempat oleh para pendatang sebagai akibat mulai lunturnya pepatah “Dimana langit dipijak di situ langit dijunjung” atau “pindah cai pindah tampian”, akibatnya nilai budaya setempat menjadi tergerus, karena yang tertanam dalam benaknya hanyalah keuntungan semata bukan bagaimana bisa hidup berdampingan di tengah keberagaman.

Melihat kenyataan nilai-nilai tradisional kita semakin tercabut dari akarnya serta adanya kewajiban kurikulum yang menerangkan perlunya pengintegrasian nilai-nilaii lokal dalam setiap pelajaran, maka transformasi nilai-nilai lokal kepada siswa menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan oleh setiap pendidik melalui penyampaian nilai-nilai tradisional dengan cara diintegrasikan (disisipkan) pada materi pelajaran yang disampaikannya.
Upaya pengintegrasian nilai tradisional tersebut tidaklah akan berhasil dengan baik jika Guru tidak mampu menyampaikannya, sehingga untuk mencapainya diperlukan tenaga Guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat disamping kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, pihak PTK (Perguruan Tinggi Keguruan) perlu mempersiapkan lulusannya agar mempunyai kompetensi tidak hanya kemampuan intelektual tetapi juga pemahaman akan nilai-nilai tradisional yang berlaku di masyarakat.
Selain itu, Pemerintah Daerah selaku pengelola pendidikan di daerahnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pembekalan terhadap guru yang bertugas dan akan bertugas tentang nilai budaya tradisional setempat dan itu perlu dilakukan secara berkelanjutan agar kemampuan guru mengintegrasikan nilai budaya setempat dapat terus terasah hingga pada akhirnya mampu mentransformasikan nilai-nilai tradisional yang luhur kepada anak didiknya. Jika itu berhasil diharapkan pengaruh budaya negatif yang datang dari luar dapat diminimalisasi. Semoga.......

Jumat, 12 Juni 2009

BUDAYA ILMIAH DAN PROFESIONALISME GURU

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.

Tuntutan guru yang profesional terus bergema di mana-mana di seluruh pelosok negeri dan berasal dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk dari para guru itu sendiri. Hal ini menunjukkan masih adanya kepedulian terhadap profesi keguruan dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Tuntutan tersebut muncul karena selama ini guru dipandang bukan sebagai profesi, karena setiap orang bisa mengajar asal mereka mau serta tidak hanya menjadi dominasi para lulusan Lembaga Pendidikan Keguruan semata.
Pandangan yang memandang guru bukan sebagai suatu profesi memang cukup menyakitkan para guru, tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang harus dilawan secara fisik melalui berbagai aktifitas yang kontraproduktif, seperti unjuk rasa atau mogok kerja, melainkan harus dijawab dengan karya nyata, yaitu melalui kegiatan ilmiah, karena koridor kerja seorang guru berada pada tatanan budaya ilmiah. Seorang guru harus mampu menampilkan diri sebagai seorang profesional melalui karya nyata di bidang pengembangan pendidikan guna meningkatkankualitas bangsa, karena menurut Kihajar Dewantoro, guru harus mampu menjadi Ing Ngarso Sun Tolodo, Ing Madya Mangun karso, Tut Wuri Handayani.
Profesionalisme seorang guru akan tampak pada perilaku ilmiah yang diperlihatkannya dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Karena dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik, guru tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan yang bersifat ilmiah, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka tidak hanya dituntut terampil mengajar, tetapi lebih dari itu mereka perlu mengembangkan membudayakan kehidupan ilmiah dalam keseharian, seperti Membaca, menulis, diskusi, dan penelitian. Karena melalui aktifitas tersebutlah masyarakat akan mengetahui kualitas seorang guru sebenarnya.

Profesionalisme Guru
Keprofesionalan seorang guru bukan hanya tampak dari kepiawaiannya menjelaskan materi pelajaran di depan kelas. Melainkan mereka juga harus mampu mengembangkan sikap kritis dan kreatif seorang siswa serta mampu memperlihatkan perilaku ilmiah dalam kehidupan sehari-hari yang diperlihatkan dalam berbagai aktifitas yang mendukung proses tersebut, seperti melakukan kegiatan penelitian, rutin membuat karya ilmiah, berdiskusi dan sebagainya. Bahkan mencari tambahan uang dapur pun dilakukan melalui pekerjaan yang mendukung proses tersebut.
Tetapi sayang banyak guru yang tidak tertarik untuk melakukan kegiatan ilmiah, walau pun penting bagi peningkatan karir mereka. Hal ini disebabkan karena mereka kurang mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah terhadap kegiatan ilmiah yang dilakukannya, baik yang dilakukan secara mandiri, kelompok atau bersama dengan siswa. Sering kali reward yang mereka terima sebagai imbalan atas kegiatan ilmiah yang dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang telah mereka keluarkan. Akibatnya, guru menjadi tidak tertarik melakukan kegiatan yang bersifat ilmiah, mereka lebih senang memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukannya mengajar untuk melakukan aktifitas yang lebih mendatangkan hasil secara finansial, karena tuntutan dapur dan biaya anak tidak bisa diabaikan.
Rendahnya aktifitas guru dalam kegiatan ilmiah, termasuk menulis menyebabkan berbagai ide inovasi pendidikan serta obsesi yang ingin dicapai dan tanggapan terhadap permasalahan aktual yang muncul hanya berakhir pada obrolan kosong di ruang guru atau kantin sekolah yang selanjutnya menguap dan dilupakan. Padahal jika ide dan gagasan tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan atau dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah akan dapat menjadi bukti keprofesionalan sebagai seorang guru.
Penyebab kurang berkembangnya budaya ilmiah di kalangan guru lainnya, adalah tidak terlepas dari budaya pendidikan yang selama ini terbentuk di masyarakat, yaitu masih mengedepankan budaya tutur dibanding budaya baca dan tulis, termasuk dalam pendidikan guru dan calon guru. Mereka tidak terbiasa untuk mampu menemukan sendiri apa yang ingin diketahuinya, karena sudah terbiasa dicekoki dan tidak dikembangkan budaya kritis. Akibatnya yang berkembang dalam pendidikan kita adalah budaya ceramah.

Pengembangan budaya ilmiah Guru
Rendahnya kemampuan ilmiah seorang guru tidak bisa hanya dipersalahkan pada guru semata, karena pihak-pihak lain seperti masyarakat, stakeholder pendidikan di semua tingkat termasuk sekolah, organisasi keguruan dan Perguruan Tinggi Keguruan mempunyai peranan terhadap rendahnya kemampuan ilmiah seorang guru. Sehingga dalam menumbuhkan budaya ilmiah pada guru diperlukan dukungan pihak-pihak tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan budaya ilmiah pada guru dan sekaligus sebagai upaya meningkatkan profesionalisme seorang guru, adalah :
1. Masyarakat, dalam hal ini orang tua siswa, perlu mendukung berbagai upaya yang dilakukan guru dalam menumbuhkan sikap kritis pada siswa, karena anggapan sekolah hanya untuk mencari selembar ijazah sudah tidak jamannya lagi. Sekolah perlu diposisikan sebagai wahana pembentuk generasi masa depan yang lebih berkualitas.
2. Sekolah perlu memberikan dukungan dan dorongan kepada guru untuk melakukan kegiatan yang bersifat ilmiah, baik yang dilakukan ketika membimbing siswa dalam kegiatan pembelajaran maupun dalam rangka peningkatan kualitas individu seorang guru, yaitu melalui penyediaan berbagai sarana pendukung terciptanya iklim belajar di sekolah, seperti melengkapi perpustakaan dengan pustaka ilmiah terbaru dan berbagai media informasi yang mendukung tumbuhnya budaya ilmiah pada guru dan siswa.
3. Guru perlu dirangsang untuk melakukan kegiatan ilmiah dengan cara memberikan penghargaan dan reward yang menjanjikan.
4. Stakeholder pendidikan, baik di pemerinatahan atau di tingkat sekolah perlu memberikan kemudahan dan dukungan serta dorongan kepada guru yang bermaksud peningkatan mutu diri melalui upaya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau melalui berbagai kegiatan ilmiah.
5. Stakeholder di tingkat sekolah perlu mendorong guru untuk memanfaatkan berbagai fasilitas yang dimiliki sekolah guna menumbuhkan budaya ilmiah pada diri siswa.
6. Belum tercukupinya kebutuhan mendasar seorang guru oleh penghasilannya menyebabkan mereka tidak mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk peningkatan mutu diri melalui langganan koran, majalah, jurnal ilmu pengetahuan dan bahkan menyediakan sarana internet. Agar guru dapat menyisihkan pendapatannya untuk kegiatan ilmiah, maka pendapatan seorang guru perlu ditingkatkan agar mereka mampu hidup sejahtera sekaligus mampu menyediakan anggaran khusus bagi peningkatan kualitas diri.

Melalui upaya tersebut diharapkan budaya ilmiah yang merupakan cermin dari profesionalisme seorang guru dapat tumbuh dan berkembang pada diri setiap individu guru yang pada akhirnya akan mampu meningkat mutu dan kualitas pendidikan nasional serta menjadikan guru sebagai profesi yang dapat sejajar dengan profesi lainnya terutama dalam tataran ilmiah. Selain itu melalui berkembangnya budaya ilmiah pada guru, diharapkan bagi siswanya guru dapat menjadi seorang yang Ing ngarso sun tolodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani seperti yang dicita-citakan Kihajar Dewantara. Semoga.....

Kamis, 28 Mei 2009

MUSEUM SEJARAH, BAGIAN PENTING SEBUAH KOTA

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.

Ketika kita bertanya bagaimana Bandung dulu, tentu jawaban yang diberikan selalu diawali dengan konon atau katanya. Jawaban seperti ini jelas bukan jawaban yang tepat bagi generasi muda saat ini yang sudah berpikir kritis. Akibatnya, orang menjadi tidak tahu bagaimana sejarah kota ini dimulai dan berjalan dari masa ke masa dan kenyataan ini tidak hanya terjadi pada orang yang baru menginjakkan kaki di kota Bandung, melainkan juga pada mereka yang lahir dan besar di kota ini.
Kenangan indah dan pahit masa lalu kota Bandung hanya menjadi konsumsi orang tua kita yang mengalaminya, sedang anak-anak sekarang hanya kebingungan dibuatnya dan tidak sedikit di antara mereka yang menganggap cerita orang tua hanyalah sebagai dongeng belaka karena tidak ada bukti yang bisa memperkuatnya. Padahal, perjalanan kota ini sudah sangat panjang dan semuanya diisi dengan keindahan serta kegetiran para pelaku sejarah di dalamnya. Akibatnya, generasi muda saat ini menjadi kurang perduli dan bangga akan kotanya, mereka menganggap kotanya tidak mempunyai sesuatu yang perlu dibanggakan, karena tidak ada sesuatu yang dapat membuktikan kota ini mempunyai perjalanan panjang yang penuh dengan keindahan dan kepahitan.
Kenyataan tersebut terjadi sebagai akibat dari minimnya informasi yang diterima oleh generasi muda tentang kota Bandung. Buku-buku yang memberikan informasi tentang bagaimana perjalanan kota ini sulit diperoleh, karena kalau pun ada sudah menjadi barang langka yang tidak mudah diperoleh di pasaran. Selain itu, tidak adanya Museum yang khusus menampilkan materi perjalanan kota Bandung juga menjadi penyebab minimnya informasi yang diperoleh generasi muda tentang kota ini.

Perjalanan sejarah Bandung
Catatan sejarah kota Bandung dimulai sekitar pertengahan abad ke 17, tepatnya tahun 1641, yaitu ketika seorang mata-mata Kompeni, Juliaen de Silva menulis laporannya. Kemudian, baru pada tahun 1712 ekspedisi untuk mencari sumber bahan baku dan lahan untuk perkebunan kopi membawa Abraham Van Riebeek menginjakkan kakinya di dataran Bandung, dan baru pada tahun 1741 Belanda menempatkan seorang tentaranya, yaitu Kopral Arie Top. Tetapi perkembangan pesat dataran Bandung menjadi sebuah kota dimulai ketika ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke pusat kota Bandung sekarang.
Pada tahun1786 jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia dengan Bandung melalui Bogor dan Cianjur dan pada saat Gubernur Jenderal Daendels berkuasa pada tahun 1810, jalan setapak tersebut diubah menjadi jalan raya yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan. Setelah jalan raya selesai, Gubernur Jenderal melalui surat tanggal 25 Mei 1810 memerintahkan kepada Bupati Bandung untuk pindah dari ibu kabupaten lama, di Krapyak, ke tepi jalan raya pos.
Setelah menemukan tempat yang tepatuntuk pusat pemerintahan kabupaten yang sesuai dengan harapan, maka pada tanggal 25 September 1810, Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, secara resmi memindahkan ibu kota Kabupaten dari Krapyak ke tempat baru di tepian Jalan Raya Pos, yaitu sekitar Alun-alun Bandung sekarang. Kepindahan ibukota Kabupaten menjadi tonggak tonggak bersejarah bagi perkembangan kota Bandung selanjutnya, karena sejak saat itu perkembangan Bandung yang dulunya hanya berupa “kampung” menuju sebuah kota yang maju dimulai.
Posisi kota Bnadung yang strategis serta perkebangan kota yang pesat, pada tahun 1856 ibukota karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke kota Bandung. Karena pertumbuhan penduduk kota Bandung yang terus meningkat serta pertumbuhan kota yang pesat, pada tahun 1906 kota Bandung resmi menjadi kota dengan pemerintahan Gementee (kotamadya) yang dipimpin oleh seorang Walikota.
Setelah menjadi Gementee, kemjuan kota Bandung dalam berbagai hal semakin nampak. Demi keindahan dan kesejukan kota di berbagai sudut kota dibangun taman-taman yang indah dan lapangan terbuka hijau tempat bermain anak-anak selain pembangunan infrastruktur pendukung ekonomi masyarakat.
Karena kelebihan potensi alamiah yang dimiliki Bandung, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JP. Graaf (1916-1921) muncul gagasan untuk memindahkan ibukota Hidia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasan tersebut muncul sebagai usulan dari HF. Rillema, seorang ahli kesehatan Belanda, yang melakukan penelitian tentang kesehatan kota-kota pesisir.
Ide pemindahan ibukota negara tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak, dan mulailah pembangunan berbagai infrastruktur pemerintahan di kota ini, salah satunya adalah Gedung Sate. Pemindahan berbagai kantor pusat dari Batavia ke Bandung mulai dilakukan, diantara pemindahan Departemen Peperangan (Depatement van Oorlog/DVO) yang secara resmi dilaksanakan pada tahun 1920, menyusul pemindahan pabrik senjata (Artillerie Contructie Winkel/ACW) dari Surabaya yang diririntis sejak rahun 1898 dan resmi pindah pada tahun 1920.
Selain dibangun pusat pemerintahan, berbagai sarana pendidikan dibangun untuk melengkapi sarana yang telah ada. Pada 16 Mei 1929 diresmikan Museum Geologi, kemudian pada tahun 1931 juga diresmikan Museum PTT (Museum Pos Indonesia, sekarang) sebagai pelengkap kantor pusat jawatan PTT (Post, Telegraaf & Telefoon). Selain itu didirikan pula perpustakaan-perpustakaan dengan koleksi yang representatif bagi perkembangan pendidikan di Bandung masa itu.
Setelah sebagian besar pusat pemerintahan migrasi dari Batavia ke Bandung dan hanya tinggal Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan pengajaran, Volksraad serta Gubernur Jenderal, pada tahun 1930-an Belanda dilanda krisis ekonomi cukup berat dan berkepanjangan yang berakibat pada penundaan Bandung sebagai ibu kota negara. Lambat laun rencana tersebut akhirnya pupus seiring dengan konsentrasi Belanda terhadap serangan Jepang dan sirna untuk selamanya setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, termasuk Bandung pada tahun 1942. Akhirnya Bandung pun hanya menjadi ibukota karesidenan Priangan dan Jawa Barat setelah masa kemerdekaan.
Selama tiga tahun setengah Jepang menduduki Indonesia, keadaan kota Bandung tidak banyak mengalami perubahan dalam tata kotanya, pembangunan di Bandung seolah tidak terjadi. Pembangunan di Bandung baru menggeliat klembali setelah Indonesia merdeka. Berbagai kegiatan yang sifatnya nasional bahkan internasional dilakukan di kota ini, diantaranya kegiatan Konperensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang melahirkan Dasa Sila Bandung.

Museum Perjalanan Bandung
Perjalanan panjang kota Bandung dengan berbagai peristiwa yang mengirinya serta keindahan alamnya telah menjadi kenangan yang terus melekat pada orang-orang yang merasakannya. Oma-opa serta kakek-nenek kita yang pernah mengalami jaman keemasan Bandung selalu mengenangnya dalam berbagai kisah nostalgia yang diceritakan kepada cucu-cucunya. Tetapi sayang, apa yang diceritakan oleh opa-oma atau nenek-kakek kita tidak dapat dibuktikan oleh cucu-cucunya yang lahir belakangan yang tidak merasakan keindahan dan ketenaran kota ini. Berbagai bukti peninggalan sejarah telah hilang entah kemana, banyak taman yang telah tergusur demi pembangunan gedung perkantoran atau perdagangan bahkan perumahan, semikian pula halnya gedung-gedung tua telah bersalin wujud menjadi gedung-gedung berarsitektur modern guna memenuhi kebutuhan berbagai aktifitas warga kota yang dari hari ke hari semakin berjibun jumlahnya.
Minimnya bukti sejarah yang tersisa serta kurangnya pengenalan sejarah kota kepada generasi muda mengakibatkan banyak orang muda di Bandung tidak lagi mengenal bagaimana perjalanan hidup kotanya dari masa ke masa. Kenyataan ini menurut para ahli akan memudarkan semangat nasionalisme dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar dimana dia tinggal dan menetap, padahal rasa cinta dan kepedulian terhadap daerahnya merupakan modal bagi pembangunan daerah terutama di era otonomi daerah saat ini.
Salah satu upaya untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian generasi muda terhadap tempat tinggalnya, adalah melalui pendirian Museum Sejarah Bandung. Timbul pertanyaan mengapa harus Museum ?, karena Museum sebagai lembaga yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda yang mempunyai nilai sejarah bagi ummat manusia berkenaan dengan kehidupan dan lingkungannya akan mampu memberikan pengenalan akan berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di kota ini.
Semua aspek sejarah perkembangan kota Bandung, dari mulai Bandung mulai dikenal oleh dunia luar, kemudian pembabakan oleh para perintis, selanjutnya berbagai kegiatan pembangunan kota yang terjadi di awal-awal pembentukannya yang melibatkan berbagai komponen masyarakat, baik para sinyo-sinyo Belanda maupun para pribumi, yang telah mengangkat Bandung ke pentas nasional bahkan internasional sampai kepada perkembangan kota ke arah Metropolitan yang penuh dengan keramaian aktivitas sebuah kota yang tidak pernah tidur walau sekejap.
Melalui pendirian Museum Sejarah Bandung diharapkan kenangan indah masa lalu di saat jaman jayanya kota Bandung yang selalu dikenang oleh opa-oma serta kakek-nenek bahkan buyut kita tidak hanya menjadi milik mereka, tetapi dapat juga dinikmati dan dipelajari oleh generasi muda. Pada akhirnya setelah mengenal Bandung secara lebih mendalam diharapkan mereka dapat belajar dari perjuangan serta upaya para pendiri dan pengelola kota di awal pertumbuhan Bandung yang kemudian diharapkan tumbuh rasa cinta dan bangga akan kota dimana mereka lahir dan tumbuh dewasa. Setelah rasa cinta dan bangga muncul diharapkan pada diri mereka tumbuh rasa peduli terhadap perkembangan pembangunan kota ini dan berupaya untuk turut aktif dalam menggerakkan roda pembangunan melalui berbagai upaya positif bagi pembangunan kota.

Dimuat : di harian umum Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2004

Kamis, 07 Mei 2009

Guru, nasibmu..................

Tugas seorang guru bukan hanya mengajar melainkan dia juga harus mendidik. Hal ini menunjukkan seorang guru harus mampu memberi bekal tidak sekedar pengetahuan akan keilmuan semata namun lebih luas bekal agar anak didiknya dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa.
Ujian Nasional (UN) yang baru aja beres meninggalkan berbagai pertanyaan akan kedudukan seorang guru sebagai seorang pengajar atau pendidik, kenapa ???
Karena berbagai muatan dan pesanan bahkan tekanan dirasakan oleh guru, yaitu tekanan dari orang tua siswa agar anak-anak mereka dapat lulus dengan nilai memuaskan, tekanan dari pimpinan di sekolah agar siswa mereka mencapai target kelulusan yang telah ditetapkan, bahkan yang tidak kalah mengerikan adalah tekanan dari penguasa daerah yang juga tidak ingin daerahnya dikategorikan sebagai daerah yang gagal dalam program pendidikannya.
Tekanan-tenakan tersebut bukan membuat guru enjoy dalam bertugas karena dia diposisikan bukan lagi sebagai pendidik namun hanya sebagai pengejar target. Kondisi tersebut menjadikan banyak guru menggadaikan idealisme mereka sebagai seorang guru. Berbagai kecurangan yang terkuak saat pelaksanaan UN dan melibatkan beberapa oknum guru demi memenuhi target dan ambisi yang dibebankan pada pundak mereka menjadikan profesi mulia ini tercoreng. Berbagai tindakan kriminal dengan alasan "menolong" dilakukan seperti membuka soal sebelum waktunya, menyebarkan bocoran jawaban dan "menghapus" jawaban siswa dilakukan para guru. Semua itu dilakukan dengan tidak memperdulikan nasib dan masa depan mereka sebagai seorang guru. Mereka menggadaikan profesi yang selama ini disandangnya.
Ketika pelanggaran tersebut terkuak, semua orang menyalahkan guru dan tidak ada satu pun yang mau menolong mereka, padahal banyak diantara para oknum tersebut bekerja tanpa pamrih, yang penting anak lulus, pimpinan selamet tidak kena rotasi, dan penguasa bisa tersenyum karena target tercapai, dengan kata lain yang penting semua senang. Sungguh sebuah Ironi.
Bila kita menilik benar salah, jelas perilaku tersebut adalah salah, namun layakkah jika kita hanya menimpakan kesalahan tersebut pada guru semata ?????
MALANG BENAR NASIBMU GURU ..................

MENUNTUT ILMU DI MATA LELUHUR SUNDA

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.


Neleng neng gung ; Neleng neng gung; Geura gede ; geura jangkung ; geura sakola ka Bandung ; geura makayakeun indung (Neleng neng gung / Neleng neng gung / Segera besar Segera tinggi / Segera sekolah ke Bandung / Segera membahagiakan Ibu (orang tua)).

Sebuah tembang yang mungkin saat ini sudah jarang kita dengar dari mulut orang tua saat menimang anaknya yang masih balita. Secara jelas tembang tersebut berisikan harapan orang tua agar si anak segera besar dan bersekolah yang tinggi yang pada akhirnya setelah selesai sekolah dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang penting bagi si anak agar kualitas hidupnya di masa depan dapat lebih baik dibanding orang tuanya sekarang dan ini jelas sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencedaskan kehidupan bangsa.
Sering kali kita menganggap bahwa pentingnya menuntut Ilmu hanya dihembus-hembuskan oleh manusia modern dengan tujuan agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, padahal jauh sebelum Republik ini lahir, jauh sebelum Ki Hadjar Dewantara merintis Lembaga pendidikan Taman Siswa, para leluhur kita sudah memandang pentingnya pendidikan bagi keturunan mereka. Mereka menganggap pendidikan yang baik harus diberikan kepada anak keturunan agar mereka bisa selamat dalam hidup karena tidak salah dalam melangkah.
Carita Parahyangan mencatat lembaga pendidikan sudah berdiri sejak zaman pemerintahan raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa (hidup sekitar abad ke 12 sampai 13). Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan atau mandala. Metode belajar yang digunakan orang Sunda masa itu menurut naskah kuna Sanghyang Siksakandang Karesian adalah metode bertanya, mengamati, meniru, mendengarkan, dan membaca. Naskah ini mencatat bahwa kita harus bertanya pada ahlinya jika ingin mengetahui sesuatu. ” jangan salah mencari tempat bertanya, bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga yang berair sejuk, tanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu isi laut, tanyalah ikan. Bila ingin tahun tentang isi hutan, tanyalah gajah. Bila ingin tahu tentang agama dan parigama tanyalah pratanda atau pendeta”.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, jelas amanat leluhur tersebut sangat tepat bagi kita yang sedang mengisi pembangunan. Bertanya bukan pada ahlinya hanya akan menyebabkan kita tersesat dan tidak akan mencapai tujuan, sehingga dalam berbagai hal kita harus bertanya pada ahlinya dan menyerahkan berbagai urusan juga kepada ahlinya karena jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tinggal menunggu kehancuran.

Falsafah pendidikan Masyarakat Sunda
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pembentukan suatu masyarakat, namun pendidikan tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan generasi yang pintar namun juga berhati nurani. Di atas sudah diuraikan bagaimana leluhur kita mengamanatkan bahwa jika belajar itu harus pada ahlinya tidak boleh kepada sembarang orang agar tujuan dapat tercapai. Selain itu, leluhur Sunda juga mewariskan falsafah pendidikan yang jika diterapkan dalam pendidikan saat ini masih tetap relevan dan mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Falsafah pendidikan yang diwariskan oleh leluhur Sunda tercermin dalam tiga kata sederhana, yaitu : Cageur (sehat), bageur (baik) dan pinter (cerdas). Dari urutan ketiga kata tersebut pinter berada pada posisi terakhir setelah cageur dan bageur. Posisi pinter pada posisi terakhir dalam falsafah pendidikan masyarakat Sunda tersebut pasti akan memunculkan pertanyaan mengapa demikian ? apakah pinter tidak lebih penting dibanding cageur dan bageur ?
Maksud dari falsafah pendidikan Sunda tersebut, orang pinter itu tidak sekedar pinter namun dia juga harus cageur (sehat) dalam artian sehat Jasmani maupun rohani, serta dia juga harus bageur (baik) dalam artian bageur secara Jasmani maupun secara rohani. Jika orang tersebut hanya pinter namun dia tidak cageur dan bageur, maka orang tersebut hanya akan bisa minteran orang lain karena yang ada di benaknya adalah bagaimana memperoleh keuntungan sedangkan dampak yang ditimbulkannya pada orang lain tidak pernah menjadi bahan pertimbangannya.
Kenyataan yang terjadi saat ini, pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan pintar serta mengabaikan cageur dan bageur secara rohani karena yang dilihat dan diprioritaskan cageur dan bageur secara kasat mata atau jasmani belaka. Akibatnya, sudah 10 tahun sejak kita pertama kali diterpa krisis multi dimensi yang diawali dengan krisis ekonomi, namun kita belum bisa keluar dari krisis tersebut. Berbagai berita penyelewengan yang dilakukan oleh yang memiliki kekuasaan yang nota bene orang pintar masih kita dengar hingga saat ini bahkan semakin menggila dibanding sebelumnya hingga kita menjadi terbiasa mendengar ada pejabat anu dijemput paksa pihak kepolisian, anggota dewan anu harus duduk di kursi pesakitan, mantan pejabat anu harus tinggal sementara waktu di hotel prodeo guna mempertanggung-jawabkan berbagai kesalahan yang dilakukannya ketika diberi amanat rakyat.
Kenyataan tersebut sangat berbeda dengan kondisi kelompok masyarakat yang kita anggap terbelakang, terasing, yaitu kelompok masyarakat adat yang tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah karena tabu, pamali atau buyut dan belajar hanya diri orang tua atau yang dituakan, namun mereka mampu memegang amanat karuhun untuk tetap menjaga keseimbangan dalam hidup.
Melihat kenyataan tersebut, kita akan bertanya siapa yang salah ? Gurunya ? kurikulumnya atau lebih mendalam lagi sistem pendidikan kita ? entahlah, karena jika kita kaji lebih mendalam falsafah pendidikan Sunda dimana sebelum menjadi pintar, orang harus terlebih dahulu sehat dan baik dalam artian sahat dan baik secara Jasmani maupun secara Rohani, maka kita akan memperoleh jawaban yang kita harapkan. Pantas leluhur kita mengamanatkan demikian karena keseimbangan dalam hidup sangat diperlukan agar kepintaran yang dimilliki tersebut dimanfaatkan demi kemaslahatan umat karena kontrol diri yang diperoleh dari cageur dan bageur secara rohani akan menjadi pengontrol saat datang godaan untuk mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongan.
Itulah konsep pendidikan yang diwariskan leluhur Sunda, sebuah konsep pendidikan yang tidak hanya mengedepankan pintar secara fisik semata dan mengabaikan pengontrolnya, yaitu cageur dan bageur secara fisik dan mental karena pendidikan yang diperlukan saat ini adalah pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tidak sekedar pintar dan mampu mengimbangi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, namun juga harus cerdas serta mempunyai mental yang sehat dengan kata lain pendidikan yang mampu melahirkan Manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan amanat UUD 1945.

Kamis, 23 April 2009

Generasi Peminta-minta

Semua agama di muka bumi ini serta nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat menempatkan pihak pemberi mempunyai kedudukan yang lebih baik daripada penerima. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini kita haruslah berupaya untuk bisa memberi, membantu atau menolong orang lain.
Kenyataan yang terjadi saat ini, orang cenderung lebih senang menerima dibanding memberi, lebih senang meminta-minta dibanding bekerja keras demi menggapai harapan. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di tengah masyarakat, namun sudah mulai juga merambah ke dunia akademik, termasuk kampus.
Ketika seorang mahasiswa diberi tugas oleh dosen untuk membuat tugas katakanlah sebuah makalah atau artikel, mereka seringkali dengan entengnya berkata "Pak susah sumbernya, minta dong dari bapak ?" padahal mereka belum pernah berusaha mencari sumber atau bahan dari tugas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih senang diberi dan tidak senang untuk mencari.
Jika kondisi ilmiah di kampus tetap seperti itu, apa jadinya bangsa ini ke depan karena yang lahir dari lingkungan seperti itu hanyalah generasi peminta-minta, yang hanya siap jadi pengemis.
Hal tersebut jelas tidak diinginkan, untuk itulah mari kita berubah, berubah dan berubah. Perubahan tersebut mulai dari diri kita sendiri !!!!

Jumat, 17 April 2009

Kedudukan Perempuan

Bila kita perhatikan, perfilman dan persinetronan kita saat ini dipenuhi oleh cerita tentang perempuan dan selalu digambarkan digambarkan sebagai mahluk lemah yang tidak berdaya. Tangisan, siksaan dan penistaan lainnya selalu kita saksikan di layak kaca dan layar bioskop, dengan kata lain hidup mereka tidak lepas dari kesedihan semata. namun di sisi lain justru perempuan digambarkan sebagai sosok yang selalu dipenuhi dengan sikap serakah dan ingin menang sendiri serta cenderung menguasai pasangannya.
Sebuah syair menguraikan Wanita itu mahluk yang unik, satu sisi dia lemah tidak berdaya, namun di sisi lain justru dia punya kuasa.
Berkenaan dengan keunikan tersebut, banyak fakta menunjukkan kaum pria akan melakukan apa saja demi membahagiakan pasangannya atau perempuan yang dicintainya.
Memang perempuan punya kedudukan yang unik.

Kamis, 02 April 2009

Siapa yang jadi wakil saya ?

Saat ini ramai iklan yang menawarkan diri mengaku sebagai orang yang terbaik yang dapat menyalurkan aspirasi konstituennya, sehingga layak untuk dicontreng saat pemilihan ntar tanggal 09 April 2009 mendatang.
Tanggapan terhadap iklan tersebut beragam, ada yang mengakatan "emangnya gua pikirin" namun ada juga yang mengatakan "siapa yang harus dipilih saya ?" saking bingungnya dia menentukan pilihannya nanti, karena semua mengaku yang terbaik, paling mampu mewakili aspirasi rakyat dan tentu mengaku paling layak dipilih.
Orang jawa buhun bilang bahwa dalam menentukan pasangan hidup harus dilihat "BIBIT, BEBET DAN BOBOTNYA". menurut penulis, ketentuan orang tua tersebut kayaknya perlu diperhitungkan dalam menentukan hak pilih kita nanti ketika kita berada di bilik suara dan menentukan pilihan kita.
Kesalahan kita dalam memilih wakil kita yang duduk di kursi terhormat di Senayan jelas akan berpengaruh besar, coba bayangkan kalau orang yang kita pilih bukanlah orang yang tepat pasti akan berpengaruh terhadap kondisi negara ini ke depan. Kita tentu tidak ingin jika mereka yang duduk manis mewakili kita adalah orang-orang yang hanya mencari keuntungan, mencari laba dari modal yang mereka tanam saat kampanye, mereka yang hanya mengandalkan kekerasan dan kekuasaan semata.
Agar tidak terjadi kesalahan dalam memilih, dan kita tepat menentukan pilihan kita maka kita selaku konstituen harus mengenal terlebih dahulu bagaimana BIBIT, BEBET DAN BOBOT calon yang akan kita pilih. Patokan tersebut jelas bukan dari berapa Uang yang mereka gelontorkan saat ingin dipilih, bukan karena berasal dari parpol besar dan berkuasa karena jika menentukan berdasar patokan tersebut maka kita akan salah memilih.
Akhirnya, "MASIH ADAKAH MEREKA YANG TERPAMPANG DI IKLAN YANG DAPAT MEWAKILI KITA ?"
Jawabannya hanya ada pada diri kita sendiri, silahkan berdialog sendiri di lubuk hati paling dalam.
Selamat menentukan pilihan demi masa depan yang lebih baik !!!!!!!

Kamis, 19 Maret 2009

Kampanye

Dagang diri atau kampanye untuk pemilu legislatif sudah mulai sejak tanggal 16 maret lalu. Semua parpol dan masing-masing calonnya mulai dagang diri serta menjanjikan sesuatu yang lebih baik di esok hari jika terpilih. berbagai cara dan metode dipergunakan agar pemilih tertarik pada apa yang didagangkannya. Tebar janji dan pesona terlihat di mana-mana, yang tadinya jauh dengan masjid sekarang merapat ke masjid dan membantu berbagai kegiatan di masjid sehingga tampak bagaikan orang alim dan berjiwa sosial. Yang dahulunya gak pernah dekat dengan lingkungan masyarakat sekitar, saat ini berbondong mendekati masyarakat termasuk ke kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Modal seberapa pun besarnya seolah tidak menjadi soal, bahkan banyak diantaranya yang rela menjual harta kekayaan bahkan pinjam dari sana sini termasuk dari rentenir demi membiayai "sosialisasi" atau kampanye, demi mendekatkan diri dengan rakyat pemilih.
Muncul pikiran dalam benak saya dan juga mungkin orang lain selaku orang awam yang hanya menjadi penonton, apakah mereka akan merealisasikan janjinya dan tetap berjiwa dekat dengan rakyat setelah terpilih ?
Jawabnya "entahlah", karena banyak di antara mereka hanya jual diri agar terpilih dan setelah terpilih lupa deh ama janjinya.
Itu kalo terpilih sebagai anggota Dewan yang terhormat, jika tidak bagaimana yach ? karena saat ini semua caleg dan parpol SIAP UNTUK MENANG namun belum tentu Siap untuk kalah apalagi jika dilihat dari modal yang mereka keluarkan.
Melihat fenomena tersebut, tidaklah salah jika dalam berita di stasiun TV beberapa hari lalu muncul berita tentang kesiapan RSJ (Rumah sakit Jiwa) dalam mengantisipasi melonjaknya jumlah pasien pasca pemilu karena pasti jumlah pasien melonjak pasca pemilu akibat Stres karena tidak kepilih dan gila memikirkan modal kampanye yang tidak kembali. Sungguh sebuah ironi yang menimpa negeri ini.
Semoga kita tidak termasuk orang yang gila kedudukan sehingga mengejarnya dengan berbagai cara, karena kedudukan dan jabatan adalah amanat !!!!!!! semoga.....

Kamis, 12 Maret 2009

Saya = Kecap nomor satu !

Pemilu, pemilu kan segera tiba.
Ingat jangan lupa contreng nama saya !!!!
kata-kata itu dan berbagai janji akan menjadi wakil rakyat yang baik dan siap melakukan perubahan serta mengaku diri paling layak untuk dipilih terpampang menghiasi foto yang gagah, cakep dan cuantik di berbagai baliho yang saat ini mudah kita jumpai di setiap penjuru negeri, gak di kota ga di desa, ga di pinggir kampung atau di tengah sawah bahkan di tengah hutan.
mengaku diri sebagai yang terbaik dan terrevormis dan paling layak tuk dipilih layaknya iklan kecap. semuanya pasti mengaku nomor satu, paling baik, paling enak dan paling layak dipilih.
Sayang, banyak baliho hanya menawarkan janji manis belaka, tidak ada yang berani mengatakan "ini kelemahan saya" karena jika berani mengatakan ini kelemahan saya, maka sudah dipastikan upayanya untuk jadi anggota legislatif menjadi terhambat, karena orang dipastikan gak akan memilih dia.
kondisi tersebut menunjukkan saat ini banyak orang yang gila kekuasaan, mereka hanya berfikir bagaimana saya lolos menjadi anggota dewan dan dapat mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.
Saat ini sebenarnya yang diinginkan orang adalah bukti bukan janji. kenapa para caleg itu tidak berfikir untuk berbuat karya nyata ? coba bayangkan berapa banyak data yang harus dikeluarkan hanya untuk membuat baliho dan memasangnya di sepanjang jalan strategis sedang di sisi lain jalan tempat baliho tersebut dipasang kondisinya bolong-bolong, becek dan sebagainya pokoknya gak nyaman deh. padahal jika dana untuk membuat baliho tiap caleg dikumpul sudah pasti kita tidak akan menemukan lagi kondisi jalan yang menghawatirkan. tapi sayang ga ada yang berani......

SUDAHKAH ANAK-ANAK MERDEKA?

Oleh Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Berbeda dengan dunia orang dewasa yang penuh dengan persaingan dan kepura-puraan, dunia anak adalah dunia yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan sehingga setiap orang pasti akan selalu mengingat indahnya dunia anak dimana bermain dengan teman sebaya sambil bersuka ria menjadi bagian terbesar kehidupannya. Namun sayang, hak seorang anak untuk menikmati dunianya sering kali dilupakan demi kepentingan dan obsesi orang dewasa, termasuk orang tua. Banyak lapangan tempat bermain anak harus berubah fungsi menjadi sarana yang lebih menjual secara ekonomis dibanding jika hanya berbentuk lapangan tempat bermain anak.
Akibat anak tidak mempunyai tempat bermain bersama teman seusianya, mereka kemudian bermain di jalan umum, gang atau trotoar yang seringkali membahayakan jiwa mereka dan juga mengganggu berbagai aktifitas di tempat tersebut. Tidak sedikit anak yang terserempet kendaraan bermotor ketika sedang bermain di jalanan atau pejalan kaki dan pengendara sepeda otor yang jatuh tersungkur karena mengindari tubrukan dengan anak-anak yang sedang berlari di jalanan atau bermain bola.
Salahkah mereka ? jawabnya tidak, karena anak-anak memang butuh temnpat bermain untuk mengekspresikan hidupnya. Dalam kenyataan ini yang perlu disalahkan adalah orang dewasa yang hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata tanpa memikirkan masa depan generasi penerus dengan tidak menyediakan tempat yang representatif sebagai tempat dimana anak bisa bermain dan berkumpul dengan teman seusianya.
Keindahan masa kanak-kanak tidak oleh semua anak dapat dirasakan, karena sebagian di antara anak-anak kita harus menghabiskan waktunya dengan bekerja mencari penghidupan guna membantu orang tua, bahkan tidak sedikit anak-anak tersebut harus berjuang mempertahankan hidup secara sendirian, tidak ada yang melindungi dan menyayangi.
Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang mencukupi, kebutuhan hidup bukanlah sesuatu yang menjadi beban mereka, tetapi banyak di antara mereka yang harus merelakan hilangnya waktu bermain karena hari-harinya dipenuhi oleh jadwal dan rutinitas. Mereka bukannya berjuang untuk mencari sesuap nasi tetapi mereka berjuang demi obsesi orang tua agar anaknya menjadi orang yang sukses yang dikemudian hari kelak dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya. Selain itu, banyak di antara mereka yang dalam mengisi hari-harinya berlimpah dengan mainan dan materi namun jauh dari belaian lembut kasih sayang orang tua. Kenyataan ini terjadi bukan karena mereka tidak mempunyai orang tua melainkan karena kedua orang tua mereka disibukkan oleh berbagai aktifitas mengejar kekayaan dan ketenaran.

Eksploitasi Anak
Keberhasilan dalam menggapai prestasi merupakan harapan orang tua terhadap anak-anaknya. Mereka akan merasa bangga dan berhasil mendidik anak jika buah hatinya itu mampu mencapai prestasi di bidang yang disukainya. Untuk mencapai obsesi tersbeut tidak sedikit orang tua dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya dipola sedemikian rupa agar mencapai prestasi sesuai keinginan dan harapannya. Akibatnya, hari-hari si anak dipenuhi dengan jadwal yang padat hingga dia kehilangan masa kecilnya yang indah, masa dimana mereka dapat merasakan indahnya bermain dan bercengkerama dengan teman, saudara dan orang tua.
Selain karena faktor obsesi orang tua yang ingin melihat keberhasilan anak-anaknya, sebagian anak-anak kita juga kehilangan masa kecilnya karena meraka harus bergelut dengan waktu, membanting tulang membantu orang tua mencari sesuap nasi. Waktu bermain mereka jelas tersita, karena di usia yang masih dini mereka juga harus turut memikirkan kesulitan yang diderita orang tua dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Anak-anak yang tidak bisa menikmati hari-harinya juga bisa kita saksikan di hampir semua sudut kota. Mereka harus berjuang dengan keras agar dapat bertahan hidup dan menghindari serta mengatasi berbagai bahaya yang mengancamnya secara mandiri karena tidak mempunyai tempat berlindung atau mengadu, bahkan tidak sedikit di antaranya yang tidak mengetahui siapa ayah dan ibu mereka.

Dimana anak bermain ?
Bermain bagi seorang anak merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Melalui bermain mereka belajar tentang kehidupan yang akan dijalaninya di masa mendatang, Melalui bermain pula mereka belajar bagaimana hidup bersama di tengah masyarakat (bersosialsasi dengan lingkungan). Kebersamaan dan belajar hidup bersama di tengah masyarakat merupakan salah satu bentuk manfaat bermain bagi anak-anak disamping sebagai upaya untuk melatih daya pikir dan kreatifitasnya.
Jumlah penduduk yang terus meningkat serta aktifitasnya yang semakin beragam terutama di perkotaan menyebabkan banyak lahan terbuka hijau berubah fungsi menjadi rumah atau gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan atau fasilitas umum lainnya. Akibatnya, anak-anak kita kehilangan tempat bermain yang aman dan tidak menantang bahaya. Mereka kehilangan tempat untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan belajar hidup bermasyarakat. Mereka tidak bisa lagi berkejar-kejaran mengitari lapang atau bermain layangan dan bermain galah asin di sore hari sambil menunggu terbenamnya matahari.
Kehidupan bersama yang diperlihatkan oleh anak-anak ketika bermain di lapangan, saat ini hanya tinggal kenangan. Kegiatan bermain mereka tidak lagi dilakukan secara bersama melainkan mulai mengarah ke indual. Video Games, Play Station dan berbagai jenis permainan keterampilan individual menjadi pilihan anak-anak dalam bermain.
Di sisi lain, semakin minimnya lapangan tempat bermain bukan berarti menghambat anak untuk bermain di luar bersama teman-temannya. Mereka nekad menantang bahaya bermain di trotoar, Gang bahkan jalanan. Mereka nekad menantang bahaya demi memenuhi kebutuhannya untuk bisa bermain bersama teman sebaya. Sehingga kita menjadi tidak aneh jika mendengar anak yang mendapat kecelakaan lalu lintas ketika memburu layangan putus atau ketika sedang bermain berkejaran di jalanan.
Tidak hanya itu, sekolah yang seharusnya mampu memberi fasilitas belajar dan bermain serta berkreasi bagi mereka saat ini banyak yang tidak mampu menyediakan fasilitas tersebut, karena lahannya yang sempit sudah dipenuhi dengan ruang kelas dan tidak mempunyai halaman bermain yang memadai. Akibatnya, di banyak sekolah anak-anak tidak bisa bermain dengan leluasa bahkan ketika pelajaran olah raga banyak diantaranya yang memanfaatkan jalanan yang ramai sebagai tempat berolah raga. Hal ini jelas akan menghambat dan mengganggu pengendara kendaraan bermotor dan membahayakan jiwa anak-anak.

Kemerdekaan Bagi Mereka
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan sengaja atau tidak, anak-anak kita tercabut hak kemerdekaannya, yaitu kebebasan mereka dalam menikmati kehidupan yang sesuai dengan usianya. Saat ini, dengan berbagai alasan yang disengaja atau tidak mereka tidak bisa menikmati dunianya secara memadai karena kepentingan mereka selalu terkalahkan oleh kepentingan orang dewasa, padahal mereka juga mempunyai hak yang sama dalam menikmati kebebasan dan kemerdekaan.
Kepedulian kita sebagai orang dewasa kepada anak-anak kita tidak cukup hanya dicurahkan melalui berbagai jargon dan kata-kata, melainkan perlu diwujudkan dalam bentuk karnya nyata yang dapat dirasakan oleh anak-anak.
Kasih sayang tulus dari orang tua, perlindungan dari orang dewasa, kebebasan dalam berkreasi serta tempat bermain bersama teman sebaya yang aman dan nyaman merupakan dambaan dan harapan mereka. Untuk itulah diperlukan suatu kearifan dari kita selaku orang dewasa dan orang tua dari mereka dalam memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan dan mereka harapkan sebagai wujud pemberian kemerdekaan bagi mereka.
Pada akhirnya semoga di saat kita memperingati hari kemerdekaan negeri ini, kita dapat memberikan suatu hadiah kemerdekaan bagi anak-anak kita, suatu kemerdekaan yang sesungguhnya sesuai dengan harapan dan ukuran mereka, bukan harapan dan ukuran orang dewasa atau orang tua. Semoga.....

MELESTARIKAN KI SUNDA TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Belakangan Ki Sunda menjadi topik pembicaraan yang hangat di haraian ini, semua penulis merasa khawatir akan lenyapnya Ki Sunda dari muka bumi dan hanya manusianya saja yang tersisa, sedang ruhnya hilang ditelan jaman. Ketakutan akan matinya Ki Sunda memang bukan tanpa alasan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah masyarakat sunda - terutama generasi muda - merasa lebih bangga jika menggunakan dan mengkonsumsi berbagai produk made in luar serta bergaya hidup barat. Mereka merasa malu jika menggunakan serta mengkonsumsi dan menikmati produk lokal serta menerapkan nilai-nilai luhur kasundaan dalam perilaku keseharian dengan alasan agar tidak dianggap kampungan.
Kecenderungan untuk bangga dangan tatanan yang berasal dari luar dibanding tatanan budaya sendiri merupakan suatu awal dari mulai melunturnya jatidiri sebagai bagian orang sunda dan jika dibiarkan secara perlahan namun pasti akan mengantarkan Ki Sunda pada lubang kematian yang mengenaskan karena tiada lagi orang yang peduli akan kelestarian dan keabadiannya.
Pengadopsian nilai-nilai positif yang datang dari luar demi kepentingan pembangunan dan kemajuan bangsa bukanlah sesuatu yang tabu, karena kita tidak bisa menghindar dari pengaruh nilai dan budaya Global yang semakin kencang dihembuskan oleh negara maju. Tetapi upaya pengadopsian nilai-nilai tersebut harus diimbangi dengan kesiapan kita dalam mempertahankan nilai-nilai luhur Ki Sunda sebagai ciri dan jati diri manusia Sunda dari hempasan angin globalisasi agar nilai-nilai luhur Ki Sunda tidak hancur lebur diterpa angin globalisasi namun sebaliknya mampu menjadi kekuatan yang besar di tengah persaingan kebudayaan global.
Sikap masyarakat yang cenderung konsumtif, materialistis dan hedonisme merupakan bagian dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh Globalisasi yang terus menyerbu masuk tanpa bisa dicegah. Padahal bila kita menilik apa yang diungkapkan oleh Naisbitt bahwa untuk memasuki era global kita tidak perlu meninggalkan nilai yang berkembang secara turun temurun di masyarakat, karena yang akan berperan adalah kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat.

Siapa yang bertanggung jawab ?
Kematian Ki Sunda yang sudah diambang pintu bukan tanggung jawab satu individu atau kelompok tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu individu orang Sunda, Sekolah, Masyarakat Sunda dan pemerintah. Setiap elemen tersebut mempunyai potensi yang sama dalam upaya melestarikan atau menghancurkan keberadaan Ki Sunda di muka bumi.
Dalam lingkungan keluarga Sunda, Orang tua mempunyai kewajiban yang tidak kecil dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. Mereka mempunyai kewajiban untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada anak-anaknya. Tetapi sayang, dewasa ini banyak orang tua -terutama kalangan muda- yang dengan berbagai alasan merasa tidak sreg mengenalkan nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada anak-anak mereka, termasuk mengenalkan penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari walau cenderung dipaksakan.
Sekolah selaku lembaga pendidikan formal mempunyai tugas yang tidak ringan yaitu mempersiapkan anak didik untuk mampu menjawab tantangan masa depan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini jelas menunjukkan sekolah mempunyai peranan yang strategis dalam upaya pentransformasian nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada generasi muda melalui materi-materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas. Namun sayang upaya pentransformasian nilai-nilai luhur Ki Sunda sering kali kurang mendapat respon positif dari para pengelola dan penentu kebijakan di Sekolah. Nilai-nilai luhur Ki Sunda dilupakan dan atau dianggap tidak mampu menjawab tuntutan Global. Akibatnya anak menjadi tidak mengenal nilai budaya daerahnya, kebanggaan mereka terhadap Ki Sunda dari hari ke hari semakin meluntur, serta mereka lebih bangga mengunakan berbagai identitas yang berasal dari luar yang sebenarnya belum tentu cocok dengan kondisi lingkungan dimana mereka tumbuh dan berkembang.
Elemen lainnya yang tidak kalah mempunyai peran dalam pelestarian atau penghancuran Ki Sunda, adalah masyarakat Sunda itu sendiri karena di tengah masyarakatlah pendidikan untuk masa depan yang sebenarnya bagi seorang anak. Nilai-nilai luhur Ki Sunda tidak akan bisa ditransformasikan dengan baik jika lingkungan masyarakat tidak mendukung dalam pengaktualan nilai-nilai luhur Ki Sunda dalam realita kehidupan bermasyarakat.
Elemen yang tidak kalah pentingnya dalam pelestarian nilai luhur Ki Sunda adalah Pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Propinsi Jawa Barat dan Banten serta pemerintah kota dan kabupaten di tatar Sunda) karena tanpa adanya upaya perlindungan dari pemerintah untuk melindungi Ki Sunda dari kepunahan maka berbagai upaya pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat Sunda tidaklah akan berhasil dengan maksimal, bahkan secara lambat laun nilai-nilai luhur Ki Sunda yang berkembang di masyarakat meluntur dan hanya akan menjadi kenangan dan kebanggan orang tua kita semata tanpa ada realisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup
Setiap orang yang mengku dirinya orang sunda di mana pun dia berada pasti tidak akan rela jika eksistensi Ki Sunda harus hilang dari muka bumi. Kita pasti tidak ingin kebesaran nama serta keluhuran nilai-nilai Sunda hanya menjadi legenda di tengah masyarakat semata. Untuk itulah agar Ki Sunda tetap eksis maka semua elemen masyarakat harus paheuyeuk-heuyeuk leungeun babarengan memelihara dan melestarikan Ki Sunda melalui berbagai upaya pewarisan nilai dan budaya kepada generasi muda Sunda. Semoga melalui upaya tersebut Ki Sunda akan tetap eksis di muka bumi hingga kiamat menghancurkan dunia.

MENJADIKAN BANDUNG SEBAGAI KOTA

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd

Bandung saat ini dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata belanja dengan berbagai sentra perbelanjaan khas yang tersebar di hampir setiap penjuru kota. Keberadaan kawasan Cihampelas, Cibaduyut, Jatayu, dan berbagai Factory Outlet (FO) yang tersebar di hampir semua penjuru kota sudah dikenal di seantero negeri, bahkan sampai ke manca negara. Sehingga tidak heran jika weekend atau hari libur, jalanan di Bandung dan kawasan-kawasan perbelanjaan dipadati oleh para pendatang yang berasal dari luar kota yang datang untuk berbelanja.
Agar para wisatawan yang datang ke Bandung tidak bosan dengan objek wisata yang selama ini ada dan sudah dikenal, pemerintah dan pelaku wisata perlu menggali asset wisata lainnya yang mampu meningkatkan angka kunjungan wisata. Upaya yang dapat dilakukan selain menciptakan objek wisata baru juga perlu melihat potensi wisata yang selama ini ada tetapi belum tergali secara maksimal. Potensi wisata yang bisa digali tersebut, adalah potensi Wisata Pendidikan, karena kota Bandung memiliki berbagai aset pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata pendidikan.
Aset pendidikan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat tujuan wisata pendidikan, adalah berbagai fasilitas pendukung pendidikan yang dimiliki kota Bandung dan tidak dimiliki oleh kota-kota lain, sehingga keberadaannya menjadi cukup eksklusif. Tempat-tempat tersebut, adalah Museum Geologi, Museum Konperensi Asia Afrika (KAA), Museum Pos Indonesia, Museum Jawa Barat “Sri Baduga”, Museum Perjuangan “Mandala Wangsit Siliwangi”, Observatorium Boscha dan berbagai pusat penelitian serta perguruan tinggi yang ada di kota ini.
Keberadaan tempat-tempat tersebut telah menjadikan kota Bandung sebagai pilihan favorit untuk dikunjungi para pelajar dan mahasiswa dari berbagai pelosok negeri yang bertujuan untuk wisata sambil belajar. Sehingga tidak heran jika musim liburan sekolah, tempat-tempat tersebut selalu dipenuhi ribuan pelajar yang datang dari berbagai kota di Indonesia secara berombongan atau sendiri-sendiri.
Selain mengunjungi Museum, observatorium dan berbagai pusat penelitian, sebagian rombongan pelajar juga datang ke kota Bandung untuk berkunjung ke Perguruan Tinggi, terutama Perguruan Tinggi Negeri dan Kedinasan dengan tujuan untuk mengetahui dari dekat keberadaan Perguruan Tinggi tersebut beserta fasilitas pendukung pendidikan sebagai bekal untuk memilih tempat studi selanjutnya setelah SMU.
Tetapi sayang, keberadaan Museum, Observatorium dan fasilitas pendukung pendidikan lainnya belum dikelola secara maksimal sebagai tempat tujuan wisata yang mampu menghasilkan secara finansial. Hal ini dikarenakan keberadaan tempat-tempat tersebut tidak dikategorikan sebagai tempat tujuan wisata melainkan sebagai sarana pendidikan yang pengelolaannya secara nirlaba. Padahal, jika keberadaan tempat-tempat tersebut dikelola secara maksimal dan difungsikan sebagai tempat tujuan wisata pendidikan bukan mustahil akan mampu mendatangkan pemasukan yang dapat menutup biaya pemeliharaan serta tentunya mampu memberikan kontribusi terhadap kas daerah.

Upaya menjadikan Bandung sebagai Tujuan Wisata Pendidikan
Guna menjadikan Bandung sebagai kota tujuan wisata pendidikan perlu dilakukan suatu kerjasama antar seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, terutama pengelola fasilitas pendukung pendidikan (Museum, Obsevatorium dan pusat penelitian), Perguruan Tinggi, Biro Perjalanan, dan pemerintah daerah. Karena tanpa adanya kerjasama yang dijalin antar komponen-komponen tersebut upaya menjadikan Bandung sebagai kota tujuan wisata pendidikan tidak akan berhasil dan hanya akan menjadi angan-angan belaka. Para wisatawan pendidikan akan beralih ke kota lain yang menyediakan fasilitas serupa tetapi dikelola secara lebih profesional.
Untuk menjadikan Bandung sebagai tujuan wisata pendidikan, beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan pihak terkait lainnya diantaranya :
1. Berbagai fasilitas penunjang pendidikan yang berada di wilayah Bandung dan keberadaannya sudah dikenal, seperti Museum dan Observatorium perlu dikelola secara lebih profesional. Keberadaan tempat tersebut, terutama observatorium, tidak hanya diperuntukkan sebagai tempat belajar pelajar dan mahasiswa, tetapi juga dapat dibuka untuk umum sebagai tempat tujuan wisata dengan tentunya tidak mengganggu kegiatan sehari-hari sebagai tempat belajar. Selain itu, perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung wisata pendidikan lainnya, seperti pusat informasi, tempat penjualan suvenir, perpustakaan serta ruang pamer.
2. Keberadaan objek wisata pendidikan perlu diinformasikan secara aktif kepada masyarakat luas melalui promosi wisata yang terintegrasi promosi wisata lainnya yang sudah ada. Melalui upaya ini diharapkan masyarakat luas mengetahui keberadaan objek-objek wisata pendidikan tersebut.
3. Para pengelola biro perjalanan di Bandung perlu memfasilitasi para wisatawan yang bermaksud melakukan wisata pendidikan dengan membuka paket-paket wisata dengan tujuan objek wisata pendidikan di Bandung dan sekitarnya, seperti Museum, Observatorium, bahkan kampus.
4. Di era perubahan status kampus Perguruan Tinggi Negeri menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), pihak pengelola Perguruan Tinggi perlu menciptakan berbagai usaha yang mampu mendatangkan keuntungan secara finansial. Salah satunya menjadikan lingkungan kampus dan berbagai fasilitas pendidikan yang dimilikinya sebagai objek wisata pendidikan.
5. Pengelola Museum, Observatorium dan pusat penelitian perlu secara rutin melakukan kegiatan open dan berbagai kegiatan lainnya yang mampu mengumpulkan massa, terutama pelajar, mahasiswa dan masyarakat lainnya yang haus akan pengetahuan. Untuk menjadikan kegiatan semacam ini menjadi tujuan wisata, maka penyelenggara perlu melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam mempromosikannya, salah satu diantaranya bekerjasama dengan biro perjalanan wisata. Melalui kerjasama tersebut diharapkan biro perjalanan wisata dapat mempromosikan kegiatan tersebut dan menjadikan even tersebut sebagai salah satu paket yang ditawarkan untuk dikunjungi wisatawan.

Melalui upaya yang dilakukan tersebut diharapkan keluhan yang selama ini muncul dari pengelola fasilitas penunjang pendidikan tersebut, seperti tidak sesuainya antara pemasukan dengan biaya pemeliharaan, masih terus bergantung pada instansi yang menaungi, kesulitan menambah koleksi serta keluhan lainnya yang disebabkan oleh minimnya pemasukan dapat diatasi yang pada akhirnya akan menjadikan lembaga-lembaga tersebut menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri sebagai lembaga penelitian dan wisata.
Pada akhirnya melalui berbagai upaya tersebut diharapkan potensi wisata yang selama ini belum tergali dan masih sedikit pihak yang meliriknya dapat tergali secara optimal dan mampu menjadi salah satu primadona kegiatan wisata kota kembang serta dapat melengkapi peran kota Bandung sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia. Semoga....

KEMANA TROTOAR KAMI ?

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd

Menurut para ahli kesehatan, berjalan kaki adalah kegiatan yang sangat menyehatkan bagi setiap individu tanpa mengenal jenis kelamin dan usia. Tetapi sayang, jalan kaki saat ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh masyarakat terutama dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Hal ini disebabkan koridor pejalan kaki atau trotoar atau kaki lima yang berada di tepian jalan saat ini banyak yang berubah fungsi atau bahkan tidak sedikit ruas jalan yang tidak memiliki trotoar, terutama ruas jalan yang menuju kawasan pemukiman.
Keberadaan trotoar di banyak sudut kota telah banyak berubah fungsi dari fungsi utamanya sebagai koridor khusus pejalan kaki menjadi fungsi lain, yaitu sebagai tempat berjualan atau sebagai tempat parkir atau berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan orang yang berjalan kaki harus rela turun ke ruas jalan dan berebut tempat dengan pengendara kendaraan.
Pergeseran fungsi dari trotoar jelas membuat ketidak-nyamanan para pejalan kaki, mereka tidak lagi bisa tenang berjalan sambil menikmati keindahan dan keramaian kota karena mereka harus ekstra hati-hati jangan sampai terserempet kendaraan yang lalu lalang, demikian pula sebaliknya para pengendara kendaraan juga harus benar-benar hati-hati agar tidak melanggar para pejalan kaki.
Di banyak sudut kota, malasnya orang berjalan di trotoar tidak hanya sebagai akibat dari peralihan fungsi, tetapi juga disebabkan oleh kondisi fisik trotoar yang seringkali membuat tidak nyaman untuk berjalan kaki. Lebar trotoar seringkali sempit, kurang dari satu meter dan curam serta banyak terpotong oleh pintu masuk ke halam rumah atau perkantoran atau toko. Akibatnya, walau tidak dipenuhi oleh pedagang kakilima para pejalan kaki tetap memilih berjalan di tepian jalan dan tidak memanfaatkan trotoar yang telah tersedia, karena resiko celaka akibat terjembab atau terperosok lebih besar dan bisa lebih fatal dibanding jika berjalan di badan jalan.
Ketidaknyamanan orang berjalan kaki menelusuri trotoar juga disebabkan oleh banyaknya pihak yang melakukan “perusakan” terhadap trotoar dengan alasan pembangunan, seperti penggalian untuk kepentingan pemasangan jaringan Telepon, Listrik atau PDAM. Kegiatan “gali lobang tutup lobang” seolah tiada henti, satu instansi selesai berganti instansi lain dan demikian seterusnya. Selama kegiatan penggalian tersebut jelas masyarakat harus rela terganggu aktifitasnya, tetapi yang sering terjadi banyak bekas galian tidak diselesaikan secara maksimal oleh “pelaku” penggalian dan masyarakat pengguna hanya bisa menggerutu dalam hati serta berjalan di tepi jalanan dengan penuh kehati-hatian jangan sampai Celaka. Karena hanya itulah yang bisa dilakukan warga, mereka tidak punya kuasa untuk menuntut kenyamanan berjalan kaki walau itu adalah hak setiap pejalan kaki siapa pun orangnya, normal atau cacat.
Dari segi peraturan lalu lintas jelas apa yang dilakukan oleh masyarakat itu keliru dan dari sisi masyarakat juga sebenarnya mereka tidak mau dirinya menantang bahaya dengan berjalan di badan jalan, tetapi apa daya para pejalan kaki di kita kurang mendapat perhatian dari para penentu kebijakan dalam pembangunan. Hal ini tampak dalam pembangunan jalan yang lebih memprioritaskan pengendara kendaraan dibanding pejalan kaki. Dari hari ke hari panjang dan lebar jalan selalu bertambah tetapi sayang dalam pembangunannya sering kali melupakan pembangunan trotoar, padahal antara pengendara kendaraan dengan pejalan kaki mempunyai hak yang sama dalam memanfaatkan akses jalan tersebut.

Berjalan kaki tidak nyaman
Trotoar atau kaki lima merupakan tempat orang melakukan aktivitas jalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Pada awal pembangunan kota-kota modern di negeri ini, pemerintah kolonial Belanda dalam pembangunan sebuah jalan selalu menyediakan jalur pejalan kaki di tepi kanan dan kiri jalan yang lebarnya masing-masing lima kaki (1,5 meter) dari tepi badan jalan, tujuannya agar para pejalan kaki dapat menyusuri jalanan dengan nyaman tanpa was-was terserempet kendaraan.
Kalau dahulu ketika jalanan masih jarang kendaraan dan trotoar yang tersedia di tepi jalan cukup lebar, masyarakat merasakan nyamannya berjalan kaki, tetapi saat ini kenyamanan tersebut mulai hilang bagi para pejalan kaki karena setiap berjalan kaki di tepian jalan perasaan was-was akan bahaya yang mengancam selalu membayangi akibatnya berjalan kaki di jalan bukan lagi menjadi kegiatan yang menyehatkan melainkan suatu kegiatan yang mengundang bahaya.
Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para pejalan kaki ketika menyusuri jalanan di perkotaan, saat ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya :
1. Tidak tersedianya trotoar atau kaki lima di pinggir jalan.
2. Beralih fungsinya Trotoar menjadi tempat berjualan, parkir dan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan pejalan kaki terganggu akibat semakin sempitnya trotoar dan akhirnya mereka memilih turun ke badan jalan.
3. Pembangunan trotoar yang kurang manusiawi, dimana trotoar yang dibangun lebih tinggi dari badan jalan dan banyak terpotong oleh jalan masuk ke halaman perkantoran, perumahan atau toko dengan posisi yang curam. Akibat harus naik turun ketika berjalan menyusuri trotoar, orang menjadi enggan untuk berjalan di trotoar karena harus lebih waspada ketika berjalan karena bisa-bisa terjatuh bila kurang hati-hati.
4. Penggalian jalan dan atau trotoar yang sering dilakukan oleh instansi terkait, sering kali setelah selesai dibiarkan begitu saja atau bila diperbaiki kurang sempurna menyebabkan terganggunya pejalan kaki dalam menyusuri trotoar.

Ketidaknyamanan pejalan kaki sebagai akibat dari faktor-faktor tersebut menyebabkan mereka terpaksa harus memilih berjalan di badan jalan walau hal itu sangat membahayakan dan mereka tidak bisa memilih atau protes terhadap ketimpangan dalam pemenuhan haknya sebagai pengguna jalan karena dianggap sudah biasa walau pun mereka seharusnya memiliki hak untuk memperoleh kenyamanan dalam berjalan kaki, karena walaupun protes pasti keluhan atau protes mereka hanya akan didengar tapi entah kapan direalisasikannya.
Kenyataan ini menunjukkan pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam pembangunan berbagai fasilitas kota kurang mampu meberikan rasa adil bagi warganya dalam menikmati fasilitas jalan. Pemerintah lebih mementingkan para pengguna kendaraan dibanding para pejalan kaki.

Berjalan kaki yang Nyaman
Sebagai bagian dari pengguna jalan, pejalan kaki mempunyai hak yang sama dengan pengendara kendaraan. Agar warga kota dapat melakukan kegiatan berjalan kaki dengan berjalan kaki, yaitu melalui berbagai upaya terutama dalam pembangunan ruas jalan, diantaranya :
1. Melengkapi semua jalanan di kota dan jalanan yang menuju ke kawasan pemukiman dengan trotoar yang memadai sehingga pejalan kaki dapat nyaman berjalan tanpa dihantui ketakutan akan memperoleh celaka di jalanan.
2. Trotoar atau kaki lima perlu dibangun bukan hanya sekedar bagi hiasan kota melainkan harus manusiawi, yaitu mampu memberikan kenyamanan bagi penggunanya termasuk para penyandang cacat. Upaya ini dpat dilakukan dengan cara : (a) membangun trotoar yang melandai pada bagian yang terpotong oleh dengan jalan masuk; (b) sepanjang trotoar harus terhindar dari berbagai hambatan, termasuk pohon pelindung, yang dapat menghambat pejalan kaki, sehingga ketika di satu titik harus berpotongan dengan pohon pelindung maka trotoar tidak boleh terputus melainkan harus mengitarinya.
3. Mengembalikan fungsi trotoar yang telah ada kepada fungsi aslinya sebagai tempat pejalan kaki, yaitu dengan menghilangkan kegiatan perparkiran yang dilakukan di trotoar, karena trotoar bukan tempat untuk parkir.
4. Pengaturan pedagang kaki lima agar mereka dalam beraktivitas tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaki, karena fungsi utama trotoar adalah untuk pejalan kaki bukan kegiatan usaha.
5. “Perusakan sementara” trotoar sebagai dampak dari pembangunan berbagai instalasi fital di bawahnya oleh berbagai instansi yang berkepentingan, ketika selesai maka harus dikembalikan ke kondisi semula dan menjadi lebih manusiawi agar setelah selesai aktivitas “gali lobang tutup lobang” trotoar dapat dinikmati kembali oleh para pejalan kaki secara nyaman bahkan lebih nyaman dibanding sebelumnya.
6. Untuk menghindari “gali lobang tutup lobang” di trotoar oleh berbagai instansi yang berkepantingan, maka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diharapkan bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga masyarakat tidak terlelu sering terganggu oleh aktivitas “perusakan” trotoar atau jalan. Untuk itu diperlukan suatu kerjasama yang antar pihak yang berkepentingan dalam mensinergikan program pembangunan jaringan bawah tanahnya.
7. Membangun saluran raksasa yang multi guna dibawah trotoar/jalan kota yang bisa menampung semua kebutuhan proyek pembangunan jaringan bawah tanah, seperti PDAM, Listrik, Telepon dan Saluran air kotor seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Melalui upaya ini diharapkan pengguna jalan tetap nyaman dan bila diperlukan pemasangan instalasi baru tidak merusak infrastruktur jalan di atasnya.

Melalui upaya pengembalian fungsi trotoar kepada fungsi aslinya, yaitu sebagai tempat orang berjalan kaki serta meningkatkan kondisi trotoar untuk menjadi lebih manusiawi diharapkan kebiasaan orang berjalan kaki dapat ditumbuhkan kembali, karena selain menyehatkan tubuh berjalan kaki juga mampu mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor.
Keberadaan trotoar atau kaki lima yang manusiawi diharapkan selain mampu menjadikan masyarakat menjadi lebih tertib ketika berjalan di jalanan, juga diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata dalam kota. Karena melalui kondisi trotoar yang nyaman dengan lingkungan yang mendukung bukan mustahil banyak diantara para wisatawan untuk berjalan kaki menyusuri jalanan kota sambil menikmati keindahan kota seperti halnya di banyak negara dimana taman-taman kota, blok perkantoran, eprumahan dan perbelanjaan menjadi daya tarik wisata jalan kaki.
Harapan kita sebagai warga kota, semoga di masa mendatang, keberadaan trotoar dapat menjadi surga bagi pejalan kaki yang ingin menikmati nyamannya berjalan kaki menyusuri jalanan sambil menikmati indahnya udara sore atau udara pagi.
DIMUAT : KALAM JABAR REPUBLIKA, 21 JULI 2004

Jumat, 16 Januari 2009

WISATA PENDIDIKAN SEBAGAI ALTERNATIF



Oleh : Iwan Hermawan.

Libur telah tiba,
Libur telah tiba,
Hore, hore, hore !!!
Sepenggal lagu anak-anak yang dibawakan oleh Tasya merupakan suatu bentuk perwujudan bahwa liburan adalah sesuatu yang selalu ditunggu oleh anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah, dari SD sampai SMU. Karena di saat libur berbagai aktifitas yang berhubungan dengan kegiatan sekolah, seperti mengerjakan Pekerjaan Rumah atau datang ke sekolah tepat waktu, terhenti. Mereka dapat melakukan kegiatan apa saja di luar kegiatan yang berhubungan dengan sekolah dengan bebas sebagai pengisi hari-hari luang sambil menunggu datangnya kembali waktu sekolah.
Berbagai kegiatan pengisi liburan banyak dipilih oleh anak-anak dan orang tua sesuai dengan kemampuan keuangan yang tersedia, dari mulai hanya sekedar menghabiskan waktu dengan bermain dengan teman sebaya di sekitar rumah, nonton TV, window-shopping, sampai berwisata ke berbagai tempat yang indah dan menarik untuk dikunjungi.
Banyaknya remaja yang menghabiskan waktu liburan dengan berbalanja atau sekedar window-shopping dan bergerombol menjadikan berbagai pusat pertokoan padat oleh para anak-anak dan remaja yang berlibur, demikian pula di berbagai pusat keramaian lainnya dengan mudah kita menemukan remaja-remaja yang berkerumun menghabiskan waktu luang mereka.
Bagi mereka yang mempunyai dana lebih, berlibur dengan melakukan kunjungan wisata atau menghabiskan waktu libur sekolah di luar kota kota bahkan ke luar negeri merupakan salah satu pilihan dalam mengisi waktu libur sekolah. Harapannya, ketika kembali masuk sekolah anak kembali segar dan siap untuk mengikuti pelajaran di sekolah serta mempunyai pengalaman baru yang bisa diceritakan kepada guru dan teman-temannya di sekolah ketika mereka kembali masuk ke ruang kelas melakukan aktifitas belajar.
Mengisi waktu libur dengan berwisata merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi anak-anak, karena dengan cara demikian mereka dapat terlepas dari rutinitas harian yang menjenuhkan serta dapat mengenal berbagai tempat di muka bumi ini, terutama objek wisatanya. Dengan cara demikian si anak akan memperoleh pengalaman baru yang sangat berguna bagi pertumbuhan mereka.
Agar kegiatan berlibur mereka tidak sia-sia, maka orang tua perlu mengarahkan anak dalam mengisi waktu liburannya. Mereka perlu diarahkan pada suatu kegiatan yang sifatnya liburan tetapi dengan tidak melepaskan nilai-nilai pendidikan mereka. Sehingga diperluka kearifan orang tua dalam membimbing anaknya dalam menentukan tempat-tempat yang harus sikunjungi selama libur sekolah. Hal ini diperlukan agar si anak selama liburan memperoleh pengalaman yang bermanfaat bagi dirinya, terutama dalam hal meningkatnya pengetahuan dan wawasan mereka.

Liburan yang Bermanfaat
Liburan sekolah sebenarnya bukanlah hari-hari yang harus dihabiskan dengan kegiatan yang tidak berguna, tetapi justru harus diisi dengan berbagai kegiatan yang lebih bermanfaat dari sekedar nonton TV, bermain dengan teman sebaya atau bahkan hanya nongkrong di pinggir jalan dan window-shopping belaka. Kegiatan pengisi waktu libur yang dilakukan anak haruslah kegiatan yang bermanfaat dan mampu menambah pengalaman dan wawasan baru bagi kehidupannya.
Agar anak dalam mengisi waktu liburannya mereka melakukan berbagai kegiatan yang lebih bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan serta pengalaman mereka, maka anak perlu diarahkan dan dibimbimbing oleh orang tua dalam melakukan aktifitas liburannya, karena walau bagaimana bimbingan orang tua dalam mengarahkan anak mengisi waktu libur sangat diperlukan.
Melalui bimbingan dan tuntunan orang tua, anak dapat mengisi waktu liburnya dengan lebih bermanfaat tidak hanya sekedar menghabiskan waktu yang tiada arti. Dengan kata lain, mereka tetap memperoleh wawasan dan pengetahuan serta pengalaman yang bermanfaat di saat libur sekolah.

Belajar sambil wisata
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan dalam waktu liburan sekolah adalah kegiatan mengunjungi berbagai objek wisata, terutama objek-objek wisata yang menarik dan mempunyai nilai lebih, sehingga sepulang berwisata mereka merasa puas dan mampu menumbuhkan semangat baru dalam mengisi hari-hari belajar di sekolah ketika kegiatan belajar di sekolah kembali dimulai an aktifitas rutin sebagai seorang pelajar lembali dijalani mengisi hari-hari kehidupan mereka.
Pemilihan objek wisata yang tepat untuk dikunjungi sangat diperlukan agar anak tidak hanya memperoleh kepuasan semata, tetapi juga setelah berkunjung ke tempat tersebut wawasan keilmuan dan pengetahuannya bertambah. Bahkan diharapkan kegiatan tersebut dapat merangsang anak untuk ingin lebih tahu tentang suatu hal atau topik dalam pembelajaran di sekolah.
Agar anak selain dapat mengisi waktu luangnya dengan kegiatan santai sambil tetap dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat dalam menunjang kegiatan belajarnya, maka orang tua dapat mengajak anaknya untuk mengunjungi berbagai tempat yang mempunyai nilai dalam pendidikan, seperti Museum, situs purbakala, kebun binatang, objek wisata alam dan berbagai tempat lainnya yang diharapkan mampu membangkitkan rasa ingin tahu anak akan berbagai hal yang baru yang tidak atau belum ditemuinya dalam pelajaran di dalam kelas.
Kegiatan kunjungan ke tempat-tempat yang mempunyai nilai pendidikan tersebut akan lebih baik jika didampingi oleh orang tua, karena pada saat menemukan sesuatu yang baru anak akan langsung dapat bertanya pada orang tuanya atau justru orang tua yang memperkenalkan anak pada objek-objek tertentu. Melalui kegiatan tersebut interaksi timbal balik antara orang tua dengan anak dapat terjalin yang dapat menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga, selain itu anak akan memperoleh sesuatu yang baru yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk kegiatan wisata ke tempat-tempat yang mempunyai nilai pendidikan bagi anak relatif lebih murah dibanding ke tempat-temoat lainnya, bahkan mengunjungi museum merupakan suatu kegiatan yang murah meriah, karena dengan tiket masuk yang lebih murah dari objek wisata lain bahkan gratis anak akan diberi pengetahuan yang sangat berlimpah berkenaan dengan perkembangan peradaban ummat manusia.
Melihat banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh dengan mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai tambah bagi pendidikan anak, maka kegiatan wisata pendidikan dapat menjadi alternatif dalam mengisi liburan sekolah.