Kamis, 28 Mei 2009

MUSEUM SEJARAH, BAGIAN PENTING SEBUAH KOTA

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.

Ketika kita bertanya bagaimana Bandung dulu, tentu jawaban yang diberikan selalu diawali dengan konon atau katanya. Jawaban seperti ini jelas bukan jawaban yang tepat bagi generasi muda saat ini yang sudah berpikir kritis. Akibatnya, orang menjadi tidak tahu bagaimana sejarah kota ini dimulai dan berjalan dari masa ke masa dan kenyataan ini tidak hanya terjadi pada orang yang baru menginjakkan kaki di kota Bandung, melainkan juga pada mereka yang lahir dan besar di kota ini.
Kenangan indah dan pahit masa lalu kota Bandung hanya menjadi konsumsi orang tua kita yang mengalaminya, sedang anak-anak sekarang hanya kebingungan dibuatnya dan tidak sedikit di antara mereka yang menganggap cerita orang tua hanyalah sebagai dongeng belaka karena tidak ada bukti yang bisa memperkuatnya. Padahal, perjalanan kota ini sudah sangat panjang dan semuanya diisi dengan keindahan serta kegetiran para pelaku sejarah di dalamnya. Akibatnya, generasi muda saat ini menjadi kurang perduli dan bangga akan kotanya, mereka menganggap kotanya tidak mempunyai sesuatu yang perlu dibanggakan, karena tidak ada sesuatu yang dapat membuktikan kota ini mempunyai perjalanan panjang yang penuh dengan keindahan dan kepahitan.
Kenyataan tersebut terjadi sebagai akibat dari minimnya informasi yang diterima oleh generasi muda tentang kota Bandung. Buku-buku yang memberikan informasi tentang bagaimana perjalanan kota ini sulit diperoleh, karena kalau pun ada sudah menjadi barang langka yang tidak mudah diperoleh di pasaran. Selain itu, tidak adanya Museum yang khusus menampilkan materi perjalanan kota Bandung juga menjadi penyebab minimnya informasi yang diperoleh generasi muda tentang kota ini.

Perjalanan sejarah Bandung
Catatan sejarah kota Bandung dimulai sekitar pertengahan abad ke 17, tepatnya tahun 1641, yaitu ketika seorang mata-mata Kompeni, Juliaen de Silva menulis laporannya. Kemudian, baru pada tahun 1712 ekspedisi untuk mencari sumber bahan baku dan lahan untuk perkebunan kopi membawa Abraham Van Riebeek menginjakkan kakinya di dataran Bandung, dan baru pada tahun 1741 Belanda menempatkan seorang tentaranya, yaitu Kopral Arie Top. Tetapi perkembangan pesat dataran Bandung menjadi sebuah kota dimulai ketika ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke pusat kota Bandung sekarang.
Pada tahun1786 jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia dengan Bandung melalui Bogor dan Cianjur dan pada saat Gubernur Jenderal Daendels berkuasa pada tahun 1810, jalan setapak tersebut diubah menjadi jalan raya yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan. Setelah jalan raya selesai, Gubernur Jenderal melalui surat tanggal 25 Mei 1810 memerintahkan kepada Bupati Bandung untuk pindah dari ibu kabupaten lama, di Krapyak, ke tepi jalan raya pos.
Setelah menemukan tempat yang tepatuntuk pusat pemerintahan kabupaten yang sesuai dengan harapan, maka pada tanggal 25 September 1810, Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, secara resmi memindahkan ibu kota Kabupaten dari Krapyak ke tempat baru di tepian Jalan Raya Pos, yaitu sekitar Alun-alun Bandung sekarang. Kepindahan ibukota Kabupaten menjadi tonggak tonggak bersejarah bagi perkembangan kota Bandung selanjutnya, karena sejak saat itu perkembangan Bandung yang dulunya hanya berupa “kampung” menuju sebuah kota yang maju dimulai.
Posisi kota Bnadung yang strategis serta perkebangan kota yang pesat, pada tahun 1856 ibukota karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke kota Bandung. Karena pertumbuhan penduduk kota Bandung yang terus meningkat serta pertumbuhan kota yang pesat, pada tahun 1906 kota Bandung resmi menjadi kota dengan pemerintahan Gementee (kotamadya) yang dipimpin oleh seorang Walikota.
Setelah menjadi Gementee, kemjuan kota Bandung dalam berbagai hal semakin nampak. Demi keindahan dan kesejukan kota di berbagai sudut kota dibangun taman-taman yang indah dan lapangan terbuka hijau tempat bermain anak-anak selain pembangunan infrastruktur pendukung ekonomi masyarakat.
Karena kelebihan potensi alamiah yang dimiliki Bandung, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JP. Graaf (1916-1921) muncul gagasan untuk memindahkan ibukota Hidia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasan tersebut muncul sebagai usulan dari HF. Rillema, seorang ahli kesehatan Belanda, yang melakukan penelitian tentang kesehatan kota-kota pesisir.
Ide pemindahan ibukota negara tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak, dan mulailah pembangunan berbagai infrastruktur pemerintahan di kota ini, salah satunya adalah Gedung Sate. Pemindahan berbagai kantor pusat dari Batavia ke Bandung mulai dilakukan, diantara pemindahan Departemen Peperangan (Depatement van Oorlog/DVO) yang secara resmi dilaksanakan pada tahun 1920, menyusul pemindahan pabrik senjata (Artillerie Contructie Winkel/ACW) dari Surabaya yang diririntis sejak rahun 1898 dan resmi pindah pada tahun 1920.
Selain dibangun pusat pemerintahan, berbagai sarana pendidikan dibangun untuk melengkapi sarana yang telah ada. Pada 16 Mei 1929 diresmikan Museum Geologi, kemudian pada tahun 1931 juga diresmikan Museum PTT (Museum Pos Indonesia, sekarang) sebagai pelengkap kantor pusat jawatan PTT (Post, Telegraaf & Telefoon). Selain itu didirikan pula perpustakaan-perpustakaan dengan koleksi yang representatif bagi perkembangan pendidikan di Bandung masa itu.
Setelah sebagian besar pusat pemerintahan migrasi dari Batavia ke Bandung dan hanya tinggal Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan pengajaran, Volksraad serta Gubernur Jenderal, pada tahun 1930-an Belanda dilanda krisis ekonomi cukup berat dan berkepanjangan yang berakibat pada penundaan Bandung sebagai ibu kota negara. Lambat laun rencana tersebut akhirnya pupus seiring dengan konsentrasi Belanda terhadap serangan Jepang dan sirna untuk selamanya setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, termasuk Bandung pada tahun 1942. Akhirnya Bandung pun hanya menjadi ibukota karesidenan Priangan dan Jawa Barat setelah masa kemerdekaan.
Selama tiga tahun setengah Jepang menduduki Indonesia, keadaan kota Bandung tidak banyak mengalami perubahan dalam tata kotanya, pembangunan di Bandung seolah tidak terjadi. Pembangunan di Bandung baru menggeliat klembali setelah Indonesia merdeka. Berbagai kegiatan yang sifatnya nasional bahkan internasional dilakukan di kota ini, diantaranya kegiatan Konperensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang melahirkan Dasa Sila Bandung.

Museum Perjalanan Bandung
Perjalanan panjang kota Bandung dengan berbagai peristiwa yang mengirinya serta keindahan alamnya telah menjadi kenangan yang terus melekat pada orang-orang yang merasakannya. Oma-opa serta kakek-nenek kita yang pernah mengalami jaman keemasan Bandung selalu mengenangnya dalam berbagai kisah nostalgia yang diceritakan kepada cucu-cucunya. Tetapi sayang, apa yang diceritakan oleh opa-oma atau nenek-kakek kita tidak dapat dibuktikan oleh cucu-cucunya yang lahir belakangan yang tidak merasakan keindahan dan ketenaran kota ini. Berbagai bukti peninggalan sejarah telah hilang entah kemana, banyak taman yang telah tergusur demi pembangunan gedung perkantoran atau perdagangan bahkan perumahan, semikian pula halnya gedung-gedung tua telah bersalin wujud menjadi gedung-gedung berarsitektur modern guna memenuhi kebutuhan berbagai aktifitas warga kota yang dari hari ke hari semakin berjibun jumlahnya.
Minimnya bukti sejarah yang tersisa serta kurangnya pengenalan sejarah kota kepada generasi muda mengakibatkan banyak orang muda di Bandung tidak lagi mengenal bagaimana perjalanan hidup kotanya dari masa ke masa. Kenyataan ini menurut para ahli akan memudarkan semangat nasionalisme dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar dimana dia tinggal dan menetap, padahal rasa cinta dan kepedulian terhadap daerahnya merupakan modal bagi pembangunan daerah terutama di era otonomi daerah saat ini.
Salah satu upaya untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian generasi muda terhadap tempat tinggalnya, adalah melalui pendirian Museum Sejarah Bandung. Timbul pertanyaan mengapa harus Museum ?, karena Museum sebagai lembaga yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda yang mempunyai nilai sejarah bagi ummat manusia berkenaan dengan kehidupan dan lingkungannya akan mampu memberikan pengenalan akan berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di kota ini.
Semua aspek sejarah perkembangan kota Bandung, dari mulai Bandung mulai dikenal oleh dunia luar, kemudian pembabakan oleh para perintis, selanjutnya berbagai kegiatan pembangunan kota yang terjadi di awal-awal pembentukannya yang melibatkan berbagai komponen masyarakat, baik para sinyo-sinyo Belanda maupun para pribumi, yang telah mengangkat Bandung ke pentas nasional bahkan internasional sampai kepada perkembangan kota ke arah Metropolitan yang penuh dengan keramaian aktivitas sebuah kota yang tidak pernah tidur walau sekejap.
Melalui pendirian Museum Sejarah Bandung diharapkan kenangan indah masa lalu di saat jaman jayanya kota Bandung yang selalu dikenang oleh opa-oma serta kakek-nenek bahkan buyut kita tidak hanya menjadi milik mereka, tetapi dapat juga dinikmati dan dipelajari oleh generasi muda. Pada akhirnya setelah mengenal Bandung secara lebih mendalam diharapkan mereka dapat belajar dari perjuangan serta upaya para pendiri dan pengelola kota di awal pertumbuhan Bandung yang kemudian diharapkan tumbuh rasa cinta dan bangga akan kota dimana mereka lahir dan tumbuh dewasa. Setelah rasa cinta dan bangga muncul diharapkan pada diri mereka tumbuh rasa peduli terhadap perkembangan pembangunan kota ini dan berupaya untuk turut aktif dalam menggerakkan roda pembangunan melalui berbagai upaya positif bagi pembangunan kota.

Dimuat : di harian umum Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2004

Kamis, 07 Mei 2009

Guru, nasibmu..................

Tugas seorang guru bukan hanya mengajar melainkan dia juga harus mendidik. Hal ini menunjukkan seorang guru harus mampu memberi bekal tidak sekedar pengetahuan akan keilmuan semata namun lebih luas bekal agar anak didiknya dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa.
Ujian Nasional (UN) yang baru aja beres meninggalkan berbagai pertanyaan akan kedudukan seorang guru sebagai seorang pengajar atau pendidik, kenapa ???
Karena berbagai muatan dan pesanan bahkan tekanan dirasakan oleh guru, yaitu tekanan dari orang tua siswa agar anak-anak mereka dapat lulus dengan nilai memuaskan, tekanan dari pimpinan di sekolah agar siswa mereka mencapai target kelulusan yang telah ditetapkan, bahkan yang tidak kalah mengerikan adalah tekanan dari penguasa daerah yang juga tidak ingin daerahnya dikategorikan sebagai daerah yang gagal dalam program pendidikannya.
Tekanan-tenakan tersebut bukan membuat guru enjoy dalam bertugas karena dia diposisikan bukan lagi sebagai pendidik namun hanya sebagai pengejar target. Kondisi tersebut menjadikan banyak guru menggadaikan idealisme mereka sebagai seorang guru. Berbagai kecurangan yang terkuak saat pelaksanaan UN dan melibatkan beberapa oknum guru demi memenuhi target dan ambisi yang dibebankan pada pundak mereka menjadikan profesi mulia ini tercoreng. Berbagai tindakan kriminal dengan alasan "menolong" dilakukan seperti membuka soal sebelum waktunya, menyebarkan bocoran jawaban dan "menghapus" jawaban siswa dilakukan para guru. Semua itu dilakukan dengan tidak memperdulikan nasib dan masa depan mereka sebagai seorang guru. Mereka menggadaikan profesi yang selama ini disandangnya.
Ketika pelanggaran tersebut terkuak, semua orang menyalahkan guru dan tidak ada satu pun yang mau menolong mereka, padahal banyak diantara para oknum tersebut bekerja tanpa pamrih, yang penting anak lulus, pimpinan selamet tidak kena rotasi, dan penguasa bisa tersenyum karena target tercapai, dengan kata lain yang penting semua senang. Sungguh sebuah Ironi.
Bila kita menilik benar salah, jelas perilaku tersebut adalah salah, namun layakkah jika kita hanya menimpakan kesalahan tersebut pada guru semata ?????
MALANG BENAR NASIBMU GURU ..................

MENUNTUT ILMU DI MATA LELUHUR SUNDA

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.


Neleng neng gung ; Neleng neng gung; Geura gede ; geura jangkung ; geura sakola ka Bandung ; geura makayakeun indung (Neleng neng gung / Neleng neng gung / Segera besar Segera tinggi / Segera sekolah ke Bandung / Segera membahagiakan Ibu (orang tua)).

Sebuah tembang yang mungkin saat ini sudah jarang kita dengar dari mulut orang tua saat menimang anaknya yang masih balita. Secara jelas tembang tersebut berisikan harapan orang tua agar si anak segera besar dan bersekolah yang tinggi yang pada akhirnya setelah selesai sekolah dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang penting bagi si anak agar kualitas hidupnya di masa depan dapat lebih baik dibanding orang tuanya sekarang dan ini jelas sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencedaskan kehidupan bangsa.
Sering kali kita menganggap bahwa pentingnya menuntut Ilmu hanya dihembus-hembuskan oleh manusia modern dengan tujuan agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, padahal jauh sebelum Republik ini lahir, jauh sebelum Ki Hadjar Dewantara merintis Lembaga pendidikan Taman Siswa, para leluhur kita sudah memandang pentingnya pendidikan bagi keturunan mereka. Mereka menganggap pendidikan yang baik harus diberikan kepada anak keturunan agar mereka bisa selamat dalam hidup karena tidak salah dalam melangkah.
Carita Parahyangan mencatat lembaga pendidikan sudah berdiri sejak zaman pemerintahan raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa (hidup sekitar abad ke 12 sampai 13). Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan atau mandala. Metode belajar yang digunakan orang Sunda masa itu menurut naskah kuna Sanghyang Siksakandang Karesian adalah metode bertanya, mengamati, meniru, mendengarkan, dan membaca. Naskah ini mencatat bahwa kita harus bertanya pada ahlinya jika ingin mengetahui sesuatu. ” jangan salah mencari tempat bertanya, bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga yang berair sejuk, tanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu isi laut, tanyalah ikan. Bila ingin tahun tentang isi hutan, tanyalah gajah. Bila ingin tahu tentang agama dan parigama tanyalah pratanda atau pendeta”.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, jelas amanat leluhur tersebut sangat tepat bagi kita yang sedang mengisi pembangunan. Bertanya bukan pada ahlinya hanya akan menyebabkan kita tersesat dan tidak akan mencapai tujuan, sehingga dalam berbagai hal kita harus bertanya pada ahlinya dan menyerahkan berbagai urusan juga kepada ahlinya karena jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tinggal menunggu kehancuran.

Falsafah pendidikan Masyarakat Sunda
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pembentukan suatu masyarakat, namun pendidikan tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan generasi yang pintar namun juga berhati nurani. Di atas sudah diuraikan bagaimana leluhur kita mengamanatkan bahwa jika belajar itu harus pada ahlinya tidak boleh kepada sembarang orang agar tujuan dapat tercapai. Selain itu, leluhur Sunda juga mewariskan falsafah pendidikan yang jika diterapkan dalam pendidikan saat ini masih tetap relevan dan mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Falsafah pendidikan yang diwariskan oleh leluhur Sunda tercermin dalam tiga kata sederhana, yaitu : Cageur (sehat), bageur (baik) dan pinter (cerdas). Dari urutan ketiga kata tersebut pinter berada pada posisi terakhir setelah cageur dan bageur. Posisi pinter pada posisi terakhir dalam falsafah pendidikan masyarakat Sunda tersebut pasti akan memunculkan pertanyaan mengapa demikian ? apakah pinter tidak lebih penting dibanding cageur dan bageur ?
Maksud dari falsafah pendidikan Sunda tersebut, orang pinter itu tidak sekedar pinter namun dia juga harus cageur (sehat) dalam artian sehat Jasmani maupun rohani, serta dia juga harus bageur (baik) dalam artian bageur secara Jasmani maupun secara rohani. Jika orang tersebut hanya pinter namun dia tidak cageur dan bageur, maka orang tersebut hanya akan bisa minteran orang lain karena yang ada di benaknya adalah bagaimana memperoleh keuntungan sedangkan dampak yang ditimbulkannya pada orang lain tidak pernah menjadi bahan pertimbangannya.
Kenyataan yang terjadi saat ini, pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan pintar serta mengabaikan cageur dan bageur secara rohani karena yang dilihat dan diprioritaskan cageur dan bageur secara kasat mata atau jasmani belaka. Akibatnya, sudah 10 tahun sejak kita pertama kali diterpa krisis multi dimensi yang diawali dengan krisis ekonomi, namun kita belum bisa keluar dari krisis tersebut. Berbagai berita penyelewengan yang dilakukan oleh yang memiliki kekuasaan yang nota bene orang pintar masih kita dengar hingga saat ini bahkan semakin menggila dibanding sebelumnya hingga kita menjadi terbiasa mendengar ada pejabat anu dijemput paksa pihak kepolisian, anggota dewan anu harus duduk di kursi pesakitan, mantan pejabat anu harus tinggal sementara waktu di hotel prodeo guna mempertanggung-jawabkan berbagai kesalahan yang dilakukannya ketika diberi amanat rakyat.
Kenyataan tersebut sangat berbeda dengan kondisi kelompok masyarakat yang kita anggap terbelakang, terasing, yaitu kelompok masyarakat adat yang tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah karena tabu, pamali atau buyut dan belajar hanya diri orang tua atau yang dituakan, namun mereka mampu memegang amanat karuhun untuk tetap menjaga keseimbangan dalam hidup.
Melihat kenyataan tersebut, kita akan bertanya siapa yang salah ? Gurunya ? kurikulumnya atau lebih mendalam lagi sistem pendidikan kita ? entahlah, karena jika kita kaji lebih mendalam falsafah pendidikan Sunda dimana sebelum menjadi pintar, orang harus terlebih dahulu sehat dan baik dalam artian sahat dan baik secara Jasmani maupun secara Rohani, maka kita akan memperoleh jawaban yang kita harapkan. Pantas leluhur kita mengamanatkan demikian karena keseimbangan dalam hidup sangat diperlukan agar kepintaran yang dimilliki tersebut dimanfaatkan demi kemaslahatan umat karena kontrol diri yang diperoleh dari cageur dan bageur secara rohani akan menjadi pengontrol saat datang godaan untuk mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongan.
Itulah konsep pendidikan yang diwariskan leluhur Sunda, sebuah konsep pendidikan yang tidak hanya mengedepankan pintar secara fisik semata dan mengabaikan pengontrolnya, yaitu cageur dan bageur secara fisik dan mental karena pendidikan yang diperlukan saat ini adalah pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tidak sekedar pintar dan mampu mengimbangi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, namun juga harus cerdas serta mempunyai mental yang sehat dengan kata lain pendidikan yang mampu melahirkan Manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan amanat UUD 1945.