Kamis, 07 Mei 2009

MENUNTUT ILMU DI MATA LELUHUR SUNDA

Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.


Neleng neng gung ; Neleng neng gung; Geura gede ; geura jangkung ; geura sakola ka Bandung ; geura makayakeun indung (Neleng neng gung / Neleng neng gung / Segera besar Segera tinggi / Segera sekolah ke Bandung / Segera membahagiakan Ibu (orang tua)).

Sebuah tembang yang mungkin saat ini sudah jarang kita dengar dari mulut orang tua saat menimang anaknya yang masih balita. Secara jelas tembang tersebut berisikan harapan orang tua agar si anak segera besar dan bersekolah yang tinggi yang pada akhirnya setelah selesai sekolah dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang penting bagi si anak agar kualitas hidupnya di masa depan dapat lebih baik dibanding orang tuanya sekarang dan ini jelas sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencedaskan kehidupan bangsa.
Sering kali kita menganggap bahwa pentingnya menuntut Ilmu hanya dihembus-hembuskan oleh manusia modern dengan tujuan agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, padahal jauh sebelum Republik ini lahir, jauh sebelum Ki Hadjar Dewantara merintis Lembaga pendidikan Taman Siswa, para leluhur kita sudah memandang pentingnya pendidikan bagi keturunan mereka. Mereka menganggap pendidikan yang baik harus diberikan kepada anak keturunan agar mereka bisa selamat dalam hidup karena tidak salah dalam melangkah.
Carita Parahyangan mencatat lembaga pendidikan sudah berdiri sejak zaman pemerintahan raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa (hidup sekitar abad ke 12 sampai 13). Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan atau mandala. Metode belajar yang digunakan orang Sunda masa itu menurut naskah kuna Sanghyang Siksakandang Karesian adalah metode bertanya, mengamati, meniru, mendengarkan, dan membaca. Naskah ini mencatat bahwa kita harus bertanya pada ahlinya jika ingin mengetahui sesuatu. ” jangan salah mencari tempat bertanya, bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga yang berair sejuk, tanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu isi laut, tanyalah ikan. Bila ingin tahun tentang isi hutan, tanyalah gajah. Bila ingin tahu tentang agama dan parigama tanyalah pratanda atau pendeta”.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, jelas amanat leluhur tersebut sangat tepat bagi kita yang sedang mengisi pembangunan. Bertanya bukan pada ahlinya hanya akan menyebabkan kita tersesat dan tidak akan mencapai tujuan, sehingga dalam berbagai hal kita harus bertanya pada ahlinya dan menyerahkan berbagai urusan juga kepada ahlinya karena jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tinggal menunggu kehancuran.

Falsafah pendidikan Masyarakat Sunda
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pembentukan suatu masyarakat, namun pendidikan tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan generasi yang pintar namun juga berhati nurani. Di atas sudah diuraikan bagaimana leluhur kita mengamanatkan bahwa jika belajar itu harus pada ahlinya tidak boleh kepada sembarang orang agar tujuan dapat tercapai. Selain itu, leluhur Sunda juga mewariskan falsafah pendidikan yang jika diterapkan dalam pendidikan saat ini masih tetap relevan dan mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Falsafah pendidikan yang diwariskan oleh leluhur Sunda tercermin dalam tiga kata sederhana, yaitu : Cageur (sehat), bageur (baik) dan pinter (cerdas). Dari urutan ketiga kata tersebut pinter berada pada posisi terakhir setelah cageur dan bageur. Posisi pinter pada posisi terakhir dalam falsafah pendidikan masyarakat Sunda tersebut pasti akan memunculkan pertanyaan mengapa demikian ? apakah pinter tidak lebih penting dibanding cageur dan bageur ?
Maksud dari falsafah pendidikan Sunda tersebut, orang pinter itu tidak sekedar pinter namun dia juga harus cageur (sehat) dalam artian sehat Jasmani maupun rohani, serta dia juga harus bageur (baik) dalam artian bageur secara Jasmani maupun secara rohani. Jika orang tersebut hanya pinter namun dia tidak cageur dan bageur, maka orang tersebut hanya akan bisa minteran orang lain karena yang ada di benaknya adalah bagaimana memperoleh keuntungan sedangkan dampak yang ditimbulkannya pada orang lain tidak pernah menjadi bahan pertimbangannya.
Kenyataan yang terjadi saat ini, pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan pintar serta mengabaikan cageur dan bageur secara rohani karena yang dilihat dan diprioritaskan cageur dan bageur secara kasat mata atau jasmani belaka. Akibatnya, sudah 10 tahun sejak kita pertama kali diterpa krisis multi dimensi yang diawali dengan krisis ekonomi, namun kita belum bisa keluar dari krisis tersebut. Berbagai berita penyelewengan yang dilakukan oleh yang memiliki kekuasaan yang nota bene orang pintar masih kita dengar hingga saat ini bahkan semakin menggila dibanding sebelumnya hingga kita menjadi terbiasa mendengar ada pejabat anu dijemput paksa pihak kepolisian, anggota dewan anu harus duduk di kursi pesakitan, mantan pejabat anu harus tinggal sementara waktu di hotel prodeo guna mempertanggung-jawabkan berbagai kesalahan yang dilakukannya ketika diberi amanat rakyat.
Kenyataan tersebut sangat berbeda dengan kondisi kelompok masyarakat yang kita anggap terbelakang, terasing, yaitu kelompok masyarakat adat yang tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah karena tabu, pamali atau buyut dan belajar hanya diri orang tua atau yang dituakan, namun mereka mampu memegang amanat karuhun untuk tetap menjaga keseimbangan dalam hidup.
Melihat kenyataan tersebut, kita akan bertanya siapa yang salah ? Gurunya ? kurikulumnya atau lebih mendalam lagi sistem pendidikan kita ? entahlah, karena jika kita kaji lebih mendalam falsafah pendidikan Sunda dimana sebelum menjadi pintar, orang harus terlebih dahulu sehat dan baik dalam artian sahat dan baik secara Jasmani maupun secara Rohani, maka kita akan memperoleh jawaban yang kita harapkan. Pantas leluhur kita mengamanatkan demikian karena keseimbangan dalam hidup sangat diperlukan agar kepintaran yang dimilliki tersebut dimanfaatkan demi kemaslahatan umat karena kontrol diri yang diperoleh dari cageur dan bageur secara rohani akan menjadi pengontrol saat datang godaan untuk mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongan.
Itulah konsep pendidikan yang diwariskan leluhur Sunda, sebuah konsep pendidikan yang tidak hanya mengedepankan pintar secara fisik semata dan mengabaikan pengontrolnya, yaitu cageur dan bageur secara fisik dan mental karena pendidikan yang diperlukan saat ini adalah pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tidak sekedar pintar dan mampu mengimbangi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, namun juga harus cerdas serta mempunyai mental yang sehat dengan kata lain pendidikan yang mampu melahirkan Manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan amanat UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar