Jumat, 16 Januari 2009

WISATA PENDIDIKAN SEBAGAI ALTERNATIF



Oleh : Iwan Hermawan.

Libur telah tiba,
Libur telah tiba,
Hore, hore, hore !!!
Sepenggal lagu anak-anak yang dibawakan oleh Tasya merupakan suatu bentuk perwujudan bahwa liburan adalah sesuatu yang selalu ditunggu oleh anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah, dari SD sampai SMU. Karena di saat libur berbagai aktifitas yang berhubungan dengan kegiatan sekolah, seperti mengerjakan Pekerjaan Rumah atau datang ke sekolah tepat waktu, terhenti. Mereka dapat melakukan kegiatan apa saja di luar kegiatan yang berhubungan dengan sekolah dengan bebas sebagai pengisi hari-hari luang sambil menunggu datangnya kembali waktu sekolah.
Berbagai kegiatan pengisi liburan banyak dipilih oleh anak-anak dan orang tua sesuai dengan kemampuan keuangan yang tersedia, dari mulai hanya sekedar menghabiskan waktu dengan bermain dengan teman sebaya di sekitar rumah, nonton TV, window-shopping, sampai berwisata ke berbagai tempat yang indah dan menarik untuk dikunjungi.
Banyaknya remaja yang menghabiskan waktu liburan dengan berbalanja atau sekedar window-shopping dan bergerombol menjadikan berbagai pusat pertokoan padat oleh para anak-anak dan remaja yang berlibur, demikian pula di berbagai pusat keramaian lainnya dengan mudah kita menemukan remaja-remaja yang berkerumun menghabiskan waktu luang mereka.
Bagi mereka yang mempunyai dana lebih, berlibur dengan melakukan kunjungan wisata atau menghabiskan waktu libur sekolah di luar kota kota bahkan ke luar negeri merupakan salah satu pilihan dalam mengisi waktu libur sekolah. Harapannya, ketika kembali masuk sekolah anak kembali segar dan siap untuk mengikuti pelajaran di sekolah serta mempunyai pengalaman baru yang bisa diceritakan kepada guru dan teman-temannya di sekolah ketika mereka kembali masuk ke ruang kelas melakukan aktifitas belajar.
Mengisi waktu libur dengan berwisata merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi anak-anak, karena dengan cara demikian mereka dapat terlepas dari rutinitas harian yang menjenuhkan serta dapat mengenal berbagai tempat di muka bumi ini, terutama objek wisatanya. Dengan cara demikian si anak akan memperoleh pengalaman baru yang sangat berguna bagi pertumbuhan mereka.
Agar kegiatan berlibur mereka tidak sia-sia, maka orang tua perlu mengarahkan anak dalam mengisi waktu liburannya. Mereka perlu diarahkan pada suatu kegiatan yang sifatnya liburan tetapi dengan tidak melepaskan nilai-nilai pendidikan mereka. Sehingga diperluka kearifan orang tua dalam membimbing anaknya dalam menentukan tempat-tempat yang harus sikunjungi selama libur sekolah. Hal ini diperlukan agar si anak selama liburan memperoleh pengalaman yang bermanfaat bagi dirinya, terutama dalam hal meningkatnya pengetahuan dan wawasan mereka.

Liburan yang Bermanfaat
Liburan sekolah sebenarnya bukanlah hari-hari yang harus dihabiskan dengan kegiatan yang tidak berguna, tetapi justru harus diisi dengan berbagai kegiatan yang lebih bermanfaat dari sekedar nonton TV, bermain dengan teman sebaya atau bahkan hanya nongkrong di pinggir jalan dan window-shopping belaka. Kegiatan pengisi waktu libur yang dilakukan anak haruslah kegiatan yang bermanfaat dan mampu menambah pengalaman dan wawasan baru bagi kehidupannya.
Agar anak dalam mengisi waktu liburannya mereka melakukan berbagai kegiatan yang lebih bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan serta pengalaman mereka, maka anak perlu diarahkan dan dibimbimbing oleh orang tua dalam melakukan aktifitas liburannya, karena walau bagaimana bimbingan orang tua dalam mengarahkan anak mengisi waktu libur sangat diperlukan.
Melalui bimbingan dan tuntunan orang tua, anak dapat mengisi waktu liburnya dengan lebih bermanfaat tidak hanya sekedar menghabiskan waktu yang tiada arti. Dengan kata lain, mereka tetap memperoleh wawasan dan pengetahuan serta pengalaman yang bermanfaat di saat libur sekolah.

Belajar sambil wisata
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan dalam waktu liburan sekolah adalah kegiatan mengunjungi berbagai objek wisata, terutama objek-objek wisata yang menarik dan mempunyai nilai lebih, sehingga sepulang berwisata mereka merasa puas dan mampu menumbuhkan semangat baru dalam mengisi hari-hari belajar di sekolah ketika kegiatan belajar di sekolah kembali dimulai an aktifitas rutin sebagai seorang pelajar lembali dijalani mengisi hari-hari kehidupan mereka.
Pemilihan objek wisata yang tepat untuk dikunjungi sangat diperlukan agar anak tidak hanya memperoleh kepuasan semata, tetapi juga setelah berkunjung ke tempat tersebut wawasan keilmuan dan pengetahuannya bertambah. Bahkan diharapkan kegiatan tersebut dapat merangsang anak untuk ingin lebih tahu tentang suatu hal atau topik dalam pembelajaran di sekolah.
Agar anak selain dapat mengisi waktu luangnya dengan kegiatan santai sambil tetap dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat dalam menunjang kegiatan belajarnya, maka orang tua dapat mengajak anaknya untuk mengunjungi berbagai tempat yang mempunyai nilai dalam pendidikan, seperti Museum, situs purbakala, kebun binatang, objek wisata alam dan berbagai tempat lainnya yang diharapkan mampu membangkitkan rasa ingin tahu anak akan berbagai hal yang baru yang tidak atau belum ditemuinya dalam pelajaran di dalam kelas.
Kegiatan kunjungan ke tempat-tempat yang mempunyai nilai pendidikan tersebut akan lebih baik jika didampingi oleh orang tua, karena pada saat menemukan sesuatu yang baru anak akan langsung dapat bertanya pada orang tuanya atau justru orang tua yang memperkenalkan anak pada objek-objek tertentu. Melalui kegiatan tersebut interaksi timbal balik antara orang tua dengan anak dapat terjalin yang dapat menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga, selain itu anak akan memperoleh sesuatu yang baru yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk kegiatan wisata ke tempat-tempat yang mempunyai nilai pendidikan bagi anak relatif lebih murah dibanding ke tempat-temoat lainnya, bahkan mengunjungi museum merupakan suatu kegiatan yang murah meriah, karena dengan tiket masuk yang lebih murah dari objek wisata lain bahkan gratis anak akan diberi pengetahuan yang sangat berlimpah berkenaan dengan perkembangan peradaban ummat manusia.
Melihat banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh dengan mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai tambah bagi pendidikan anak, maka kegiatan wisata pendidikan dapat menjadi alternatif dalam mengisi liburan sekolah.

GURU, PROFESI YANG TERMARJINALKAN.


Oleh : Iwan Hermawan

Hari-hari belakangan ini berbagai sorotan gencar menyorot berbagai sisi kehidupan seorang guru. Mulai dari sorotan terhadap banyaknya pungutan yang dilakukan guru dengan berbagai alasan guna meningkatkan mutu pendidikan, posisi guru sebagai distributor buku pelajaran bagi siswa, hingga sorotan terhadap keprofesionalannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Kenyataan ini menunjukkan masyarakat takut anak-anak mereka tidak memperoleh pendidikan yang berkualitas baik sesuai dengan harapan dan dambaan mereka.
Harapan masyarakat akan pendidikan yang bermutu sebenarnya juga merupakan obsesi seorang guru ketika mereka melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar. Mereka tidak pernah berharap anak didik mereka menjadi generasi yang bodoh, “gagap” teknologi, dan berbagai istilah lainnya yang negatif. Tetapi sayang, obsesi suci mereka tidak bisa mereka realisasikan secara maksimal dlam wujud nyata, karena seorang guru juga adalah manusia yang harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak, akibatnya pikiran mereka terpecah dan tidak lagi terfokus pada tugasnya sebagai guru serta tidak memiliki kesempatan untuk menambah wawasan keilmuan secara mandiri melalui berbagai kebiasaan ilmiah yang dilakukannya.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang kadung melekat pada diri seorang guru berakibat pada “harga” atau nilai prestise dari profesi keguruan di mata masyarakat. Mereka menganggap guru bukanlah suatu profesi yang bisa dibanggakan karena dari segi pendapatan masih jauh dibanding para profesional lainnya di negeri ini, padahal berkat tangan-tangan merekalah lahir para profesional dan cerdik pandai. Hal ini menjadikan profesi guru sebagai profesi yang termarjinalkan dewasa ini, padahal mereka adalah ujung tombak bagi keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Akibatnya, generasi muda yang benar-benar mempunyai cita-cita sebagai seorang guru jumlahnya terus berkurang dari waktu ke waktu, karena bagi mereka profesi sebagai seorang guru bukanlah profesi yang menjanjikan kesejahteraan secara finansial yang mampu menjamin kehidupan yang layak di masa depan.
Apa yang terjadi pada nasib guru saat ini sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan jaman dahulu. Pada jaman itu, guru merupakan profesi yang mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat, mereka disejajarkan kedudukannya dengan para menak dan bangsawan. Selain itu, mereka bisa hidup sejahtera sehingga pada diri mereka tumbuh rasa bangga menjadi seorang guru karena kemana pun mereka pergi akan banyak orang yang menghormati dan menghargainya, bahkan akibat kedudukannya tersebut masyarakat sekitar selalu memanggilnya dengan panggilan “tuan guru atau juragan guru”, suatu penghargaan yang saat ini belum tentu diperoleh seorang guru.

Marjinalisasi Profesi Guru
Marjinalisasi proefesi guru telah berlangsung sejak lama, yaitu sejak pemerintah melakukan penjaringan guru secara besar-besaran yang diiringi dengan pemberian insentif yang lebih rendah dibanding profesi lainnya, sehingga guru menjadi profesi yang disanjung sekaligus menjadi profesi yang terpinggirkan. Peningkatan karir mereka sering kali kurang jelas, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang pengetahuannya tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena berbagai keterbatasan serta kurangnya kesempatan yang diperolehnya.
Peningkatan kemampuan diri sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, karena guru secara pribadi wajib mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dia mampu mengimbangi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus bergerak cepat. Tetapi sayang, akibat kesempatan yang diberikan pemerintah terbatas dan tidak mampu menjangkau semua guru serta terbatasanya kemampuan finansial guru untuk meningkatkan kemampuan diri secara mandiri menyebabkan kemampuan dan pengetahuan serta wawasan yang dimilikinya tidak bertambah atau statis.
Tidak sedikit guru yang mempunyai kelebihan dari sisi finansial bermaksud melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dengan biaya mandiri tidak bisa melaksanakan niatnya tersebut karena memperoleh hambatan dari pimpinan dengan berbagai alasan, terutama alasan menyita waktu. Padahal apa yang dilakukannya tersebut merupakan upaya untuk turut meningkatkan kualitas pendidikan walau tidak secara langsung.
Kenyataan tersebut jelas berdampak pada kepercayaan dirinya ketika mengajar atau membimbing anak didiknya. Mereka cenderung statis, bahkan banyak diantara materi yang harus diajarkan terutama berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu dijelaskan secara maksimal kepada anak didiknya. Hal ini disebabkan ketidak-tahuan mereka akan materi yang harus dijelaskan, karena tidak mengerti dan tidak tahu. Akibatnya, siswa yang hanya mengandalkan guru sebagai sumber informasi utama menjadi tertinggal informasi sebaliknya siswa yang telah selangkah lebih maju justru malah mempermalukan guru di depan teman-temannya akibat ketidak mampuan yang diperlihatkan dalam menyampaikan materi pelajaran.

Peningkatan Kualitas Guru
Keberadaan guru dewasa ini walau dengan penuh kekurangan terutama dari segi kualitas diri, keberadaannya tetap sangat diperlukan guna menggerakkan roda pendidikan negeri ini serta mereka tidak mungkin secara massal dihentikan dan digantikan oleh guru baru yang profesional. Untuk itu, diperlukan suatu upaya yang mampu meningkatkan keprofesionalan guru yang telah ada saat ini sambil mempersiapkan generasi pengganti yang tentunya mempunyai kualitas yang lebih baik dibanding pendahulunya serta lebih profesional.
Peningkatan wawasan seorang guru dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan suatu yang penting dalam peningkatan profesionalisme sebagai seorang pengajar, tetapi sayang kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan banyak guru yang “gagap” terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, bahkan wawasannya tentang keilmuan cenderung statis. Hal ini sebagai kurang mampunya mereka dalam mengakses berbagai sumber informasi, seperti koran, majalah, jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta media Online. Ketidakmampuan tersebut terjadi karena waktu mereka habis untuk mencari tambahan penghasilan guna mencukupi biaya hidup layak, sedangkan untuk berlangganan tidak tersedia anggaran karena sudah tersedot oleh pos lain yang dianggapnya lebih penting.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru saat ini yang dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan kedinasan tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dibarengi dengan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Karena bagaimana mungkin Guru bisa profesional dalam menjalankan profesinya jika mereka masih disibukkan dengan upaya mencari tambahan pendapatan agar bisa hidup yang layak bersama keluarga. Sehingga salah satu faktor penting dalam memprofesionalkan guru serta mengangkat kembali prestise profesi ini, adalah melalui peningkatan pendapatan guru. Melaui pendapatan yang memadai mereka dapat hidup layak bersama keluarga dan mempunyai anggaran pribadi guna meningkatkan wawasan keilmuan dan keguruan yang dimilikinya, sehingga mereka tidak tertinggal oleh perkembangan Global yang tengah terjadi.
Pemberian kesempatan untuk mengikuti berbagai pendidikan kedinasan atau pemberian dukungan dan ijin untuk mengikuti pendidikan lanjutan dengan biaya mandiri merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pimpinan para guru baik tingkat sekolah maupun tingkat di atasnya guna meningkatkan tingkat kemampuan profesi seorang guru, karena bagi seorang guru keprofesionalannya hanya bisa dicapai melalui upaya belajar dan terus belajar agar tidak tertinggal oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang terus bergerak dengan cepat, serta mampu mengimbangi kemampuan murid yang sering kali dalam penguasaan IPTEK selangkah lebih maju.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Calon Guru
Selain meningkatkan tingkat profesionalisme seorang guru juga diperlukan peningkatan kualitas pendidikan Calon Guru, akrena melalui pendidikan guru yang berkualitas diharapkan akan lahir calon-calon guru yang mempunyai kualitas dan mampu menjadikan profesi keguruan sebagai profesi yang tidak kalah dengan profesi lainnya.
Salah satu usulan untuk peningkatan mutu pendidikan guru diusulkan oleh Fraksi PDIP di DPR. Mereka mengusulkan untuk mengalih-fungsikan STPDN menjadi Sekolah Guru Nasional (PR, 14/11). Usulan ini tentu bukan tanpa alasan, karena fasilitas yang dimiliki oleh STPDN sangat memadai bagi sebuah lembaga pendidikan, berbagai fasilitas penunjang pendidikan tersedia termasuk asrama yang dapat menampung mahasiswa sehingga calon guru dapat lebih berkonsentrasi pada studinya. Usulan tersebut secara sepintas jelas merupakan suatu solusi yang tepat bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena melalui Sekolah “pondokan” dengan fasilitas pendidikan yang menunjang diharapkan akan lahir seorang profesional dalam bidang pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Tetapi sayang, usulan ini kurang mampu menjawab persoalan yang sebenarnya terjadi, karena keberadaan seorang guru berbeda dengan pamong praja, karena seorang guru IPA akan berbeda dengan guru IPS atau Bahasa padahal lowongan tenaga kependidikan di sekolah atau suatu daerah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jadi tidak bisa digeneralisasi. Sehingga, Pendidikan Keguruan yang terpusat secara nasional belum tentu mampu memenuhi total keseluruhan angka kebutuhan guru di tiap daerah.
Dalam mengatasi kekuarangan tenaga guru yang profesional, upaya kongkrit yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan calon guru, adalah :
1. Daerah perlu membuka Sekolah Guru Daerah (SGD) atau IKIP Daerah dengan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai dan mahasiswanya direkrut dari Siswa berprestasi di daerah tersebut dengan sistem Ikatan Dinas yang sifatnya mengikat untuk jangka waktu tertentu, tujuannya agar para lulusan tersebut tidak lari ke daerah lain setelah mereka lulus. Melalui upaya ini diharapkan daerah akan mampu secara mandiri memenuhi kekurangan tenaga guru sesuai dengan kebutuhan.
2. Upaya pembukaan Sekolah Guru Daerah tidak harus dengan cara membuka Perguruan Tinggi Keguruan (PTK) yang baru, tetapi dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan PTK yang telah mapan dan ada di daerah tersebut. Dengan cara kerjasama yang dijalin, maka tidak akan muncul kecemburuan dari pihak yang dirugikan, terutama PTK swasta.
3. Memperketat pemberian ijin pendirian PTK atau program studi baru, karena longgarnya ijin menjadikan PTK dengan berbagai program studi yang sudah jenuh tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan.
4. Melakukan standarisasi yang ketat terhadap fasilitas pendukung PTK, karena melalui standarisasi yang ketat diharapkan tidak ada lagi PTK yang fasilitasnya tidak memadai.

Akhirnya melalui upaya yang dilakukan tersebut diharapkan akan lahir guru-guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar. Selain itu, melalui peningkatan kesejahteraan guru diharapkan profesi keguruan yang saat ini termarjinalkan dapat berubah menjadi profesi yang sejajar dan kembali menjadi profesi dambaan generasi muda. Semoga.....

Minggu, 04 Januari 2009

PEREMPUAN JADI OBJEK ATAU MENGOBJEKKAN DIRI ?

Oleh : Iwan Hermawan

“Seorang wanita telah dilengkapi oleh Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran, yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa kita pahami dengan cinta kasih, dan hanya bisa kita sentuh dengan kebajikan” (Kahlil Gibran, Sayap-sayap Patah).
Potongan tulisan Kahlil Gibran di atas menunjukkan, perempuan merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai daya tarik memikat serta penuh dengan misteri bagi lawan jenisnya. Keindahan tubuh dan rohaninya merupakan bagian yang mampu menarik hati dan menggoda iman kaum lelaki. Sehingga tidak heran jika kaum lelaki akan rela mengorbankan apa saja agar mampu menikmati dan memiliki keindahan tubuh seorang perempuan.
Perjalanan sejarah menunjukkan, pembunuhan yang dilakukan oleh manusia pertama kali di muka bumi, yaitu pembunuhan Habil oleh Qabil, terjadi sebagai akibat rebutan perempuan. Selain itu, kisah dalam kitab suci menjelaskan nabi Adam yang diusir oleh Tuhan dari Surga juga disebabkan oleh perempuan (siti Hawa) yang mendesaknya untuk mendekati dan memakan buah terlarang (Khuldi). Pada jaman Fir’aun, nabi Musa yang saat itu masih bayi seharusnya dibunuh karena merupakan keturunan bani Israil tetapi tidak jadi dibunuh bahkan diangkat anak olehnya karena permintaan dari sang permaysuri. Pada zaman Cleopatra, Julius Caesar rela tidak melanjutkan ekspansinya di Mesir karena jatuh pada pelukan ratu Mesir yang terkenal karena kecantikannya. Selanjutnya, presiden Amerika Serikat John F Kennedi dapat takluk dan jatuh ke pelukan artis Marlyn Monroe, dan terakhir ketika presiden Bill Clinton posisinya terancam karena ada main dengan Monica Lewinsky.
Tidak semua perempuan hanya menjadi objek dalam kehidupan dunia, diantara mereka terdapat beberapa nama yang justru menjadi pembangkit semangat bagi orang yang mencintainya, seperti halnya Eva Duarte yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Eva Peron merupakan orang di belakang layar keberhasilan Juan Peron dalam membangun negerinya, walaupun hal itu juga merupakan bagian dari ambisinya untuk menjadi orang terkenal di Argentina dan itu tercapai hingga namanya lebih dikenang oleh warga Argentina dibanding sang suami yang justru orang nomor satu di negeri itu.
Kenyataan tersebut menunjukkan dari dulu hingga sekarang kaum laki-laki akan selalu berupaya untuk dapat meraih simpati perempuan tanpa berpikir dampak dan akibat yang akan ditanggungnya.

Pemanfaatan Perempuan
Melihat perjalanan panjang sejarah hubungan antara laki-laki dengan perempuan, tidak heran jika banyak orang kemudian “memanfaatkan” keindahan yang dimiliki perempuan guna mencapai suatu obsesi, baik harta kekayaan, ketenaran atau jabatan. Pada jaman dahulu, agar lurah terpakai oleh bupati, maka dia secara rutin harus mempersembahkan seorang perempuan yang cantik kepada bupati untuk dijadikan selir atau hanya sekedar pemuas nafsu sesaat untuk kemudian dibebaskan kembali atau dihadiahkan lagi kepada orang lain. Akibatnya, banyak orang tua, terutama dari golongan bawah, yang merasa bahagia jika mempuanyai anak perempuan yang cantik dan rupawan, karena kecantikan yang dimilikinya dapat menjadi modal untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi dan status keluarga.
Di dunia modern saat ini, kedudukan perempuan tidaklah jauh berbeda dengan sebelumnya, mereka tetap dijadikan sebagai “hiasan” penarik laba. Bila kita perhatikan Mode pakaian perempuan yang berkembang saat ini, dari hari ke hari semakin ketat melekat di tubuh dan semakin minim serta semakin bebas memperlihatkan keindahan tubuh pemakainya, bahkan pakaian mode untuk pakaian seragam kantor pun dibuat seseksi dan seminim mungkin agar mereka bisa memperlihatkan memperlihatkan bagian-bagian yang menjadi daya tarik bagi lawan jenisnya, walaupun hal itu sering kali membuat mereka risi dan tidak nyaman tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak karena harus menuruti apa yang telah menjadi kebijakan perusahaan atau kantor.
Tetapi tidak semua perempuan yang memanfaatkan keindahan tubuhnya karena rasa “terpaksa” atau dimanfaatkan pihak lain, diantara mereka ada seperti halnya Cleopatra dan Eva Peron yang memanfaatkan keindahan dan kecantikan tubuhnya guna meraih obsesi dan cita-cita agar menjadi orang terkenal dan sukses dalam menapaki jenjang karir. Tidak sedikit diantara mereka, terutama para pendatang baru dunia hiburan, yang dengan sengaja memanfaatkan kesintalan dan keindahan tubuhnya demi setumpuk uang dan ketenaran, bahkan tidak sedikit yang siap memberikan “service lebih” asal tujuannya menjadi orang terkenal dapat tercapai. Sehingga tidak heran jika semua media kita, terutama media cetak dan elektronik dipenuhi dengan tampilan cantik seorang perempuan yang berpakaian minim atau sangat ketat, bahkan media televisi kita saat ini sudah dipenuhi dengan tayangan yang memperlihatkan “goyangan” pantat nakal biduanita yang mampu menarik imajinasi kaum lelaki yang menontonnya.
Kenyataan tersebut jelas menunjukkan perempuan dengan kelemahan yang dimilikinya menjadi objek kaum laki-laki dalam memenuhi ambisinya. Tetapi di sisi lain, saat ini justru banyak perempuan yang memanfaatkan kelemahan laki-laki yang selalu tergoda oleh sesuatu yang indah yang dimiliki seorang perempuan guna menggapai puncak harapan.

Penghargaan terhadap Perempuan
Para penggiat persamaan hak selalu berteriak, “jangan melakukan eksploitasi perempuan guna meraih keuntungan bisnis” atau berikan porsi yang sama antara perempuan dan laki-laki”. Jargon-jargon tersebut selalu didengungkan di berbagai kesempatan yang tiada lain bertujuan agar perempuan memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Penghargaan terhadap seorang perempuan sebenarnya harus diperlihatkan oleh perempuan itu sendiri dalam menghormati dirinya. Mereka harus mampu menghormati dirinya melalui caranya bertindak dan berperilaku dalam upayanya menggapai tujuan dan cita-cita. Mereka harus mampu mempertahankan cara hidup yang sesuai dengan norma walau persaingan untuk ke situ sangat ketat. Karena bagaimana mungin seorang perempuan akan memperoleh penghargaan dari kaum lelaki jika dia sendiri tidak menghormati dan menghargai dirinya sendiri, seperti dalam cara berpakaian di depan umum banyak di antara mereka yang berpakaian minim dan seksi sehingga lekuk tubuhnya yang indah, seksi dan sintal jelas terlihat dengan alasan mengikuti perkembangan mode. Kebiasaan semacam ini jelas akan mengundang lelaki iseng untuk menggodanya bahkan melecehkannya baik melalui colekan tangan atau suitan bahkan kata-kata sapaan yang tidak senonoh.
Jika mereka mampu berperilaku dan berpenampilan yang seuai dengan norma yang berlaku, insyaAllah pelecehan dan kekerasan seksual yang saat ini banyak menimpa kaum perempuan dapat dihindarkan, karena pada dasarnya kejahatan dan pelecehan seksual banyak terjadi sebagai akibat dari penampilan si korbannya itu sendiri. Selain itu melalui penghargaan terhadap diri sendiri oleh kaum perempuan diharapkan posisi perempuan yang selalu menjadi objek dalam berbagai kegiatan kaum lelaki dan dunia usaha dapat dihindarkan dan penghargaan yang layak dapat diterima oleh kaum perempuan sesuai dengan prestasi bukan rasa iba atau karena pengorbanan harga diri.

DIMUAT HU. PIKIRAN RAKYAT, 21 JUNI 2003

Jumat, 02 Januari 2009

MENDAMBAKAN TROTOAR YANG NYAMAN

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd


Dewasa ini orang mengenal kaki lima sebagai orang yang memanfaatkan trotoar untuk mencari nafkah, terutama berjualan. Padahal, arti sebenarnya dari kaki lima adalah koridor khusus pejalan kaki dengan lebar lima kaki (sekitar 1,5 meter) yang berada di kedua sisi jalan atau lebih dikenal dengan istilah Trotoar. Tujuan pembangunan trotoar jelas memberikan kenyamanan bagi para pejalan kaki dan para pengendara kendaraan sehingga mereka dalam menikmati aktivitas masing-masing secara nyaman dan aman tanpa saling mengangganggu.
Keberadaan trotoar di banyak sudut kota telah banyak berubah fungsi dari fungsi utamanya sebagai koridor khusus pejalan kaki menjadi fungsi lain, yaitu sebagai tempat berjualan atau sebagai tempat parkir. Sedangkan orang yang berjalan kaki harus rela turun ke jalan dan berebut tempat dengan pengendara kendaraan.
Pergeseran fungsi dari trotoar jelas membuat ketidak-nyamanan para pejalan kaki, mereka tidak lagi bisa tenang berjalan sambil menikmati keindahan dan keramaian kota karena mereka harus ekstra hati-hati jangan sampai terserempet kendaraan yang lalu lalang, demikian pula sebaliknya para pengendara kendaraan juga harus benar-benar hati-hati agar tidak melanggar para pejalan kaki.
Di banyak sudut kota, malasnya orang berjalan di trotoar tidak hanya sebagai akibat dari peralihan fungsi, tetapi juga disebabkan oleh kondisi fisik trotoar yang seringkali membuat tidak nyaman untuk berjalan kaki. Lebar trotoar seringkali sempit, kurang dari satu meter dan curam serta banyak terpotong oleh pintu masuk ke halam rumah atau perkantoran atau toko. Akibatnya, walau tidak dipenuhi oleh pedagang kakilima para pejalan kaki tetap memilih berjalan di tepian jalan dan tidak memanfaatkan trotoar yang telah tersedia, karena resiko celaka karena terjembab atau terperosok lebih besar dan bisa lebih fatal dibanding jika berjalan di badan jalan.
Ketidaknyamanan orang berjalan kaki menelusuri trotoar juga disebabkan oleh banyaknya pihak yang melakukan “perusakan” terhadap trutoar dengan alasan pembangunan, seperti penggalian untuk kepentingan pemasangan jaringan Telepon, Listrik atau PDAM. Kegiatan “gali lobang tutup lobang” seolah tiada henti, satu instansi selesai berganti instansi lain dan demikian seterusnya. Selama kegiatan penggalian tersebut jelas masyarakat harus rela terganggu aktifitasnya, tetapi yang sering terjadi banyak bekas galian tidak diselesaikan secara maksimal oleh “pelaku” penggalian dan masyarakat pengguna hanya bisa menggerutu dalam hati serta berjalan di tepi jalanan dengan penuh kehati-hatian jangan sampai Celaka. Karena hanya itulah yang bisa dilakukan warga, mereka tidak punya kuasa untuk menuntut kenyamanan berjalan kaki walau itu adalah hak setiap pejalan kaki siapa pun orangnya, normal atau cacat.
Dari segi peraturan lalu lintas jelas apa yang dilakukan oleh masyarakat itu keliru dan dari sisi masyarakat juga sebenarnya tidak mau dirinya menantang bahaya dengan berjalan di badan jalan, tetapi apa daya para pejalan kaki di kita kurang mendapat perhatian dari para penentu kebijakan dalam pembangunan. Hal ini tampak dalam pembangunan jalan yang lebih memprioritaskan pengendara kendaraan dibanding pejalan kaki. Dari hari ke hari panjang dan lebar jalan selalu bertambah tetapi sayang dalam pembangunannya sering kali melupakan pembangunan trotoar, padahal antara pengendara kendaraan dengan pejalan kaki mempunyai hak yang sama dalam memanfaatkan akses jalan tersebut.
Selain kurangnya perhatian pemerintah dalam pembangunan sarana jalan buat pejalan kaki, kebiasaan masyarakat berjalan di badan jalan juga disebabkan oleh perubahan fungsi trotoar dari sebagai tempat berjalan menjadi tempat parkir atau menjajakan dagangan dan kegiatan usaha lainnya. Aktivitas ini jelas memaksa pejalan kaki untuk turun ke badan jalan dan mengambil jatah pengendara kendaraan.

Ketidaknyamanan berjalan kaki
Trotoar atau kaki lima merupakan tempat orang melakukan aktivitas jalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Pada awal pembangunan kota-kota modern di negeri ini, pemerintah kolonial Belanda dalam pembangunan sebuah jalan selalu menyediakan jalur pejalan kaki di tepi kanan dan kiri jalan yang lebarnya masing-masing lima kaki (1,5 meter) dari tepi badan jalan, tujuannya agar para pejalan kaki dapat menyusuri jalanan dengan nyaman tanpa was-was terserempet kendaraan.
Kalau dahulu ketika jalanan masih jarang kendaraan dan trotoar yang tersedia di tepi jalan cukup lebar, masyarakat merasakan nyamannya berjalan kaki, tetapi saat ini kenyamanan tersebut mulai hilang bagi para pejalan kaki karena setiap berjalan kaki di tepian jalan perasaan was-was akan bahaya yang mengancam selalu membayangi akibatnya berjalan kaki di jalan bukan lagi menjadi kegiatan yang menyehatkan melainkan suatu kegiatan yang mengundang bahaya.
Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para pejalan kaki ketika menyusuri jalanan di perkotaan, saat ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya :
Tidak tersedianya trotoar atau kaki lima di pinggir jalan; Beralih fungsinya Trotoar menjadi tempat berjualan, parkir dan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan pejalan kaki terganggu akibat semakin sempitnya trotoar dan akhirnya mereka memilih turun ke badan jalan; Pembangunan trotoar yang kurang manusiawi, dimana trotoar yang dibangun lebih tinggi dari badan jalan dan banyak terpotong oleh jalan masuk ke halaman perkantoran, perumahan atau toko dengan posisi yang curam. Akibat harus naik turun ketika berjalan menyusuri trotoar, orang menjadi enggan untuk berjalan di atas trotoar karena harus ekstra hati-hati agar tidak celaka; Penggalian jalan dan atau trotoar yang sering dilakukan oleh berbagai instansi terkait untuk berbagai kepentingan seringkali tidak diselesaikan, karena trotoar dibiarkan berantakan dan berakibat pada terganggunya pengguna trotoar.
Akibat ketidak-nyamanan berjalan menyusuri trotoar, menyebabkan pejalan kaki secara terpaksa memilih harus memilih berjalan di badan jalan walau hal itu sangat membahayakan. Pejalan kaki hanya bisa menggerutu dalam hati dan tidak bisa protes karena dianggap sudah biasa walau pun mereka juga seharusnya memiliki hak yang sama memperoleh kenyamanan dalam berjalan kaki, sperti nyamannya pengendara kendaraan yang melaju di atas jalanan yang mulus.
Kenyataan ini menunjukkan pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam pembangunan berbagai fasilitas kota kurang mampu meberikan rasa adil bagi warganya dalam menikmati fasilitas jalan. Pemerintah lebih mementingkan para pengguna kendaraan dibanding para pejalan kaki.

Kenyamanan berjalan kaki
Sebagai pengguna jalan, para pejalan kaki mempunyai hak yang sama dengan para pengendara kendaraan di jalanan yaitu melalui pembangunan trotoar yang memadai di tepian jalan, tujuannya adalah memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Bila hal itu bisa dicapai maka ketergantungan akan kendaraan, baik umum maupun pribadi, untuk menempuh jarak dekat yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki bisa dikurangi bahkan dihilangkan.
Agar para pejalan kaki dapat kembali merasakan nyamannya menyusuri trotoar serta agar para pengendara kendaraan bermotor mau mengistirahatkan kendaraannya dan ikut berjalan kaki untuk aktifitas yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, maka pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pembangunan dalam bidang sarana jalan harus juga memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, yaitu melalui upaya : (1) Melengkapi semua jalanan di kota dan jalanan yang menuju ke kawasan pemukiman dengan trotoar yang memadai sehingga pejalan kaki dapat nyaman berjalan tanpa dihantui rasa takut celaka; (2) Trotoar atau kaki lima perlu dibangun bukan hanya sekedar sebagai hiasan kota melainkan harus manusiawi, yaitu mampu memberikan kenyamanan bagi penggunanya termasuk para penyandang cacat. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara : (a) Membangun trotoar yang melandai pada bagian yang terpotong oleh dengan jalan masuk; (b) sepanjang trotoar harus terhindar dari berbagai hambatan, termasuk pohon pelindung, yang dapat menghambat pejalan kaki, sehingga ketika di satu titik harus berpotongan dengan pohon pelindung maka trotoar tidak boleh terputus melainkan harus mengitarinya; (3) Mengembalikan fungsi trotoar yang telah ada kepada fungsi aslinya sebagai tempat pejalan kaki, yaitu dengan menghilangkan kegiatan perparkiran yang dilakukan di trotoar, karena trotoar bukan tempat untuk parkir; (4) Pengaturan pedagang kaki lima agar mereka dalam beraktivitas tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaki, karena fungsi utama trotoar adalah untuk pejalan kaki bukan kegiatan usaha; (5) Mengembalikan kondisi trotoar pasca penggalian pada kondisi yang layak bagi pejalan kaki; (6) Untuk menghindari “gali lobang tutup lobang” di trotoar oleh berbagai instansi yang berkepantingan, maka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diharapkan bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga masyarakat tidak terlelu sering terganggu oleh aktivitas “perusakan” trotoar atau jalan. Untuk itu diperlukan suatu kerjasama yang antar pihak yang berkepentingan dalam mensinergikan program pembangunan jaringan bawah tanahnya; (7)Membangun saluran raksasa yang multi guna dibawah trotoar/jalan kota yang bisa menampung semua kebutuhan proyek pembangunan jaringan bawah tanah, seperti PDAM, Listrik, Telepon dan Saluran air kotor seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Melalui upaya ini diharapkan pengguna jalan tetap nyaman dan bila diperlukan pemasangan instalasi baru tidak merusak infrastruktur jalan di atasnya.
Melalui upaya pengembalian fungsi trotoar kepada fungsi aslinya, yaitu sebagai tempat orang berjalan kaki serta meningkatkan kondisi trotoar untuk menjadi lebih manusiawi diharapkan kebiasaan orang berjalan kaki dapat ditumbuhkan kembali, karena selain menyehatkan tubuh berjalan kaki juga mampu mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor.
Keberadaan trotoar atau kaki lima yang manusiawi diharapkan selain mampu menjadikan masyarakat menjadi lebih tertib ketika berjalan di jalanan, juga diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata dalam kota. Karena melalui kondisi trotoar yang nyaman dengan lingkungan yang mendukung bukan mustahil banyak diantara para wisatawan untuk berjalan kaki menyusuri jalanan kota sambil menikmati keindahan kota seperti halnya di banyak negara dimana taman-taman kota, blok perkantoran, eprumahan dan perbelanjaan menjadi daya tarik wisata jalan kaki.
Pada akhirnya kita hanya bisa bertanya “Kapan berjalan kaki di tepi jalan dapat dilakukan dengan nyaman sambil menikmati indahnya suasana sore atau pagi yang cerah dan indah ?” Jawabannya mungkin tidak hari ini, juga tidak besok tetapi yang jelas entah kapan baru bisa terwujud yang jelas mungkin di saat para pengelola kota sudah menyadari betapa indahnya berjalan kaki sore menyusuri trotoar sambil menikmati keramaian lalu lintas atau indahnya taman-taman kota. Semoga itu semua tidak hanya menjadi impian warga kota di siang bolong belaka.

Kamis, 01 Januari 2009

Museum Sebagai Sumber Belajar

MUSEUM SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Oleh : Iwan Hermawan, M.Pd.


Pendahuluan
Keberadaan Museum oleh sebagian masyarakat kita masih dianggap hanya sebagai penghias kota dan tempat menyimpan benda-benda kuno yang selalu dipenuhi oleh debu serta suasananya menyeramkan. Pandangan tersebut jelas keliru, karena menurut hasil Musyawarah Umum ke 11 International Council of Museums (ICOM) tanggal 14 Juni 1974, Museum mempunyai pengertian, “A museum is a non-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, material evidence of people and their environment” (Hudson, 1977:1).
Fungsi Museum yang mulia tersebut dapat tercapai jika masyarakat sudi meluangkan waktu untuk berkunjung ke Museum dan menikmati benda koleksi pameran serta mencoba untuk memahami nilai yang terkandung dalam benda koleksi pameran tersebut. Melalui kunjungan ke Museum yang rutin dilakukan masyarakat, maka di Museum akan terjadi suatu transformasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi terdahulu ke generasi sekarang. Tetapi sayang, masih banyak orang, terutama generasi muda, yang enggan menginjakkan kakinya ke Museum karena dianggap tidak prestis dan tidak sesuai dengan tuntunan jaman. Mereka merasa lebih gengsi datang ke Mal atau tempat keramaian lainnya dibanding datang ke Museum, sehingga tidak heran jika banyak Museum, mengalami krisis pengunjung. Akibatnya, fungsi Museum sebagai transformator nilai warisan budaya bangsa kepada generasi berikutnya tidak dapat dicapai.
Sebagai suatu lembaga yang menyajikan berbagai hasil karya dan cipta serta karsa manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan sebagai sumber belajar. Melalui benda yang dipamerkannya, pengunjung dapat belajar tentang nilai dan perhatian serta kehidupan generasi pendahulu sebagai bekal di masa kini dan gambaran untuk kehidupan di masa mendatang. Selain itu, melalui pemanfaatan museum sebagai Sumber Belajar, sebagai bagian dari pembelajaran dengan pendekatan warisan hudaya, diharapkan siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang pintar dengan tidak melupakan akar budaya bangsanya. Menurut Hunter (1988), “The heritage education approach is intended to strengthen student’s understanding of concepts and the artistic achievements, technological genius, and social and economic contribution of men and women from diverse group” (Tujuan pendidikan dengan pendekatan warisan budaya adalah untuk memperkuat pengertian siswa tentang konsep dan hasil seni, kecerdasan dalam bidang teknologi, serta kontribusi perbedaan kelompok sosial ekonomi pria dan wanita).
Banyaknya Museum didirikan, tujuannya adalah untuk melestarikan dan mewariskan nilai budaya bangsa kepada generasi penerus agar nilai budaya bangsa tidak hilang ditelan jaman. Tetapi sayang, museum yang berdiri megah, mempunyai koleksi lengkap dan dipelihara dengan biaya yang tidak sedikit kurang mendapat perhatian dari Masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap museum sampai kini masih jauh dari yang diharapkan, artinya sedikit sekali orang yang tahu dan mau memahami bahwa museum bermanfaat bagi dunia pendidikan dan rekreasi, mereka umumnya memandang museum tidak lebih dari gudang tempat penyimpanan barang tua dengan suasana ruangan yang menyeramkan.
Belajar di Museum
Menurut Hilgard, “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya)”. Sedangkan menurut Gagne, “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance) berubah dari waktu sebelum mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tersebut” (Purwanto, 1990:84).
Menurut pandangan Modern, Belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan. Seseorang dinyatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya (Hamalik, 1985:40-41). Dalam belajar menurut Thomas dalam Hamalik (1985:45) terdapat 3 tingkatan pengalaman belajar, yaitu : (1) Pengalaman melalui benda sebenarnya; (2) Pengalaman melalui benda-benda pengganti; (3) Pengalaman melalui bahasa.
Dari uraian tersebut menunjukkan, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung dalam ruangan kelas di sekolah tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan Masyarakat, sehingga Museum sebagai bagian dari Masyarakat merupakan salah satu tempat yang dapat dipilih oleh guru untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas, karena koleksi pameran dan diorama Museum dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas, terutama materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia dan lingkungan. Menurut Boyer (1996), “Museum as educational institution teach us about the objects of lasting human interest and value” selain itu, Sunal dan Haas (1993: 294) mengungkapkan, “A trip a museum or restoration is often reported as a positive memory of the study of History”.
Kunjungan ke Museum akan sangat bermanfaat bagi tumbuhnya pemikiran kritis siswa jika dilaksanakan secara terprogram dan terencana dengan baik. Selama mereka berada di museum dan mengamati objek pameran diharapkan pikiran mereka bekerja dan objek pameran yang diamatinya dapat menjadi alat bantu belajar. Karena ketika kegiatan ini dilakukan, siswa dirangsang untuk menggunakan kemampuan dalam berfikir kritis. Menurut Takai and Connor (1998) kemampuan berfikir kritis siswa meliputi : (1) Comparing and Contrasting (kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati); (2) Identifying and Classifying (kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan objek yang diamati pada kelompok seharusnya); (3) Describing (kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati; (4) Predicting (kemampuan untuk memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan objek yang diamati); (5) Summarizing (kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat).
Kemampuan kritis yang diharapkan dapat muncul ketika dan setelah siswa melakukan kegiatan kunjungan ke Museum tersebut dapat dicapai jika selama kegiatan kunjungan guru memberikan bimbingan secara khusus kepada siswa. Mereka tidak dilepas begitu saja dengan pengetahuan yang masih nol tentang materi yang akan dipelajari di Museum dan koleksi Museum itu sendiri. Selain itu, dukungan dari pengelola Museum sangat diperlukan guna menunjang pencapaian tujuan kunjungan ke Museum. Dukungan tersebut dapat dilakukan melalui upaya : (1) Menyediakan panel informasi singkat berkenaan dengan pembagian ruang dan jenis koleksi yang dipamerkannya di pintu masuk museum, sehingga pengunjung dapat memperoleh gambaran isi museum secara lengkap begitu masuk pintu museum, sehingga walau pengunjung hanya masuk ke salah satu ruangan, dia tidak akan kehilangan “cerita” yang disajikan museum; (2) Menyediakan panel-panel informasi yang disajikan secara lengkap dan menarik sebagai pelengkap benda koleksi pameran dan diorama; (3) Menyediakan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pendidikan, seperti leaflet, brosur, buku panduan, film, mikro film, slide dan lembar kerja siswa (LKS), sehingga pengunjung dengan mudah mempelajari objek yang dipamerkan museum; (4) Khusus berkenaan dengan LKS, perlu dirancang LKS museum yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing tingkatan usia siswa serta mampu membangkitkan daya kritis siswa sesuai dengan tingkatannya; (5) Museum perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan permainan museum yang menarik dan mampu meningkatkan pemahaman siswa akan objek yang dipamerkan.
Agar kegiatan kunjungan ke Museum dapat dilaksanakan secra optimal dan memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dijalin suatu kerjasama timbal balik antara pihak sekolah (guru) dengan pengelola Museum (kurator). Bagi guru, kerjasama ini diperlukan agar mereka dapat mempersiapkan siswa ketika akan berkunjung ke Museum. Sedangkan bagi pengelola Museum, jalinan kerjasama dengan pihak sekolah (guru) sangat bermanfaat terutama dalam penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran dan bimbingan siswa selama di Museum.

Manfaat Kunjungan ke Museum bagi Guru dan Siswa
Kegiatan kunjungan ke Museum bukanlah suatu kunjungan yang hanya hura-hura atau hanya untuk berwisata. Karena melalui kegiatan kunjungan ke Museum, guru dan siswa dapat mempeoleh banyak manfaat terutama berkaitan dnegan peningkatan kemampuan memahami makna yang terkandung di balik suatu benda koleksi pameran Museum. Bagi Guru manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan kunjungan ke Museum, adalah : (1) Menambah pengetahuan serta wawasan siswa, terutama berkaitan dengan benda koleksi pameran Museum; (2) Menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas siswa, terutama dalam membuktikan fakta dan teori yang terdapat dalam buku pelajaran atau yang dijelaskan oleh guru di depan kelas; (3) Mendidik siswa untuk mampu mencari dan menemukan jawaban sendiri atas berbagai pertanyaan yang muncul berkaitan dengan materi pelajaran; (4) Mempermudah guru dalam memberikan penjelasan pada siswa, karena selain teori juga dilengkapi bukti yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang disajikan; (5) Menghilangkan kejenuhan dan kebosanan siswa dalam belajar; (6) Membangkitkan semangat baru pada siswa dalam belajar, karena belajar tidak hanya dilakukan di dalam ruang kelas, melainkan juga di museum melalui kegiatan pengamatan benda koleksi pameran dan mempelajari informasi yang melengkapinya.
Bagi Siswa, setelah kegiatan kunjungan ke Museum diharapkan mereka memperoleh manfaat sebagai berikut : (1)Dapat mengetahui peninggalan sejarah budaya bangsa melalui koleksi yang dipamerkan Museum; (2) Menambah wawasan dan pengetahuan, karena banyak dari peninggalan bersejarah umat manusia dan lingkungan yang tidak tercantum dalam buku terdapat di Museum dalam bentuk benda koleksi; (3) Mengenal perkembangan kebudayaan manusia dan lingkungan melalui benda-benda koleksi yang dipamerkan Museum; (4) Menjawab rasa ingin tahu, terutama berkaitan dengan peninggalan sejarah budaya bangsa serta alam dan lingkungan.

Penutup
Semua orang setuju Museum merupakan tempat yang kaya akan berbagai informasi yang diperlukan oleh manusia yang berfikir. Tetapi tidak semua orang menyadari pentingnya untuk berkunjung ke Museum dan mempelajari apa yang dipamerkannya. Anggapan yang berkembang di masyarakat saat ini, Museum hanyalah sebagai “gudang” barang langka, tempatnya menyeramkan, serta hanya dianggap sebagai penghias dan pelengkap kota sehingga kurang prestis dan mengikuti jaman jika mengunjunginya, perlu segera dihilangkan dan berganti dengan pandangan seperti di negara maju, “museum merupakan tempat yang megasyikkan untuk berwisata dan belajar”.
Akhirnya melalui pemanfaatan Museum sebagai sumber belajar diharapkan keberadaan Museum tidak lagi hanya dianggap sebagai penghias dan pelengkap kota, tetapi dapat menjadi pusat transformasi nilai dan pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Melalui kegiatan ini diharapkan tumbuh kesadaran di masyarakat, terutama generasi muda, bahwa berkunjung ke Museum merupakan sesuatu yang bermanfaat dan mengasyikkan. Setelah itu, diharapkan mereka dapat berkunjung ke Museum dengan tanpa paksaan tugas sekolah tetapi dengan kesadaran dan keinginan sendiri. Semoga ......

Museum Sejarah, Bagian Penting sebuah kota

MUSEUM SEJARAH, BAGIAN PENTING SEBUAH KOTA
Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Pendahuluan
Ketika kita bertanya bagaimana Bandung dulu, tentu jawaban yang diberikan selalu diawali dengan konon atau katanya. Jawaban seperti ini jelas bukan jawaban yang tepat bagi generasi muda saat ini yang sudah berpikir kritis. Akibatnya, orang menjadi tidak tahu bagaimana sejarah kota ini dimulai dan berjalan dari masa ke masa dan kenyataan ini tidak hanya terjadi pada orang yang baru menginjakkan kaki di kota Bandung, melainkan juga pada mereka yang lahir dan besar di kota ini.
Kenangan indah dan pahit masa lalu kota Bandung hanya menjadi konsumsi orang tua kita yang mengalaminya, sedang anak-anak sekarang hanya kebingungan dibuatnya dan tidak sedikit di antara mereka yang menganggap cerita orang tua hanyalah sebagai dongeng belaka karena tidak ada bukti yang bisa memperkuatnya. Padahal, perjalanan kota ini sudah sangat panjang dan semuanya diisi dengan keindahan serta kegetiran para pelaku sejarah di dalamnya. Akibatnya, generasi muda saat ini menjadi kurang perduli dan bangga akan kotanya, mereka menganggap kotanya tidak mempunyai sesuatu yang perlu dibanggakan, karena tidak ada sesuatu yang dapat membuktikan kota ini mempunyai perjalanan panjang yang penuh dengan keindahan dan kepahitan.
Kenyataan tersebut terjadi sebagai akibat dari minimnya informasi yang diterima oleh generasi muda tentang kota Bandung. Buku-buku yang memberikan informasi tentang bagaimana perjalanan kota ini sulit diperoleh, karena kalau pun ada sudah menjadi barang langka yang tidak mudah diperoleh di pasaran. Selain itu, tidak adanya Museum yang khusus menampilkan materi perjalanan kota Bandung juga menjadi penyebab minimnya informasi yang diperoleh generasi muda tentang kota ini.

Perjalanan sejarah Bandung
Catatan sejarah kota Bandung dimulai sekitar pertengahan abad ke 17, tepatnya tahun 1641, yaitu ketika seorang mata-mata Kompeni, Juliaen de Silva menulis laporannya. Kemudian, baru pada tahun 1712 ekspedisi untuk mencari sumber bahan baku dan lahan untuk perkebunan kopi membawa Abraham Van Riebeek menginjakkan kakinya di dataran Bandung, dan baru pada tahun 1741 Belanda menempatkan seorang tentaranya, yaitu Kopral Arie Top. Tetapi perkembangan pesat dataran Bandung menjadi sebuah kota dimulai ketika ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke pusat kota Bandung sekarang.
Pada tahun1786 jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia dengan Bandung melalui Bogor dan Cianjur dan pada saat Gubernur Jenderal Daendels berkuasa pada tahun 1810, jalan setapak tersebut diubah menjadi jalan raya yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan. Setelah jalan raya selesai, Gubernur Jenderal melalui surat tanggal 25 Mei 1810 memerintahkan kepada Bupati Bandung untuk pindah dari ibu kabupaten lama, di Krapyak, ke tepi jalan raya pos.
Setelah menemukan tempat yang tepatuntuk pusat pemerintahan kabupaten yang sesuai dengan harapan, maka pada tanggal 25 September 1810, Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, secara resmi memindahkan ibu kota Kabupaten dari Krapyak ke tempat baru di tepian Jalan Raya Pos, yaitu sekitar Alun-alun Bandung sekarang. Kepindahan ibukota Kabupaten menjadi tonggak tonggak bersejarah bagi perkembangan kota Bandung selanjutnya, karena sejak saat itu perkembangan Bandung yang dulunya hanya berupa “kampung” menuju sebuah kota yang maju dimulai.
Posisi kota Bnadung yang strategis serta perkebangan kota yang pesat, pada tahun 1856 ibukota karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke kota Bandung. Karena pertumbuhan penduduk kota Bandung yang terus meningkat serta pertumbuhan kota yang pesat, pada tahun 1906 kota Bandung resmi menjadi kota dengan pemerintahan Gementee (kotamadya) yang dipimpin oleh seorang Walikota.
Setelah menjadi Gementee, kemjuan kota Bandung dalam berbagai hal semakin nampak. Demi keindahan dan kesejukan kota di berbagai sudut kota dibangun taman-taman yang indah dan lapangan terbuka hijau tempat bermain anak-anak selain pembangunan infrastruktur pendukung ekonomi masyarakat.
Karena kelebihan potensi alamiah yang dimiliki Bandung, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JP. Graaf (1916-1921) muncul gagasan untuk memindahkan ibukota Hidia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasan tersebut muncul sebagai usulan dari HF. Rillema, seorang ahli kesehatan Belanda, yang melakukan penelitian tentang kesehatan kota-kota pesisir.
Ide pemindahan ibukota negara tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak, dan mulailah pembangunan berbagai infrastruktur pemerintahan di kota ini, salah satunya adalah Gedung Sate. Pemindahan berbagai kantor pusat dari Batavia ke Bandung mulai dilakukan, diantara pemindahan Departemen Peperangan (Depatement van Oorlog/DVO) yang secara resmi dilaksanakan pada tahun 1920, menyusul pemindahan pabrik senjata (Artillerie Contructie Winkel/ACW) dari Surabaya yang diririntis sejak rahun 1898 dan resmi pindah pada tahun 1920.
Selain dibangun pusat pemerintahan, berbagai sarana pendidikan dibangun untuk melengkapi sarana yang telah ada. Pada 16 Mei 1929 diresmikan Museum Geologi, kemudian pada tahun 1931 juga diresmikan Museum PTT (Museum Pos Indonesia, sekarang) sebagai pelengkap kantor pusat jawatan PTT (Post, Telegraaf & Telefoon). Selain itu didirikan pula perpustakaan-perpustakaan dengan koleksi yang representatif bagi perkembangan pendidikan di Bandung masa itu.
Setelah sebagian besar pusat pemerintahan migrasi dari Batavia ke Bandung dan hanya tinggal Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan pengajaran, Volksraad serta Gubernur Jenderal, pada tahun 1930-an Belanda dilanda krisis ekonomi cukup berat dan berkepanjangan yang berakibat pada penundaan Bandung sebagai ibu kota negara. Lambat laun rencana tersebut akhirnya pupus seiring dengan konsentrasi Belanda terhadap serangan Jepang dan sirna untuk selamanya setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, termasuk Bandung pada tahun 1942. Akhirnya Bandung pun hanya menjadi ibukota karesidenan Priangan dan Jawa Barat setelah masa kemerdekaan.
Selama tiga tahun setengah Jepang menduduki Indonesia, keadaan kota Bandung tidak banyak mengalami perubahan dalam tata kotanya, pembangunan di Bandung seolah tidak terjadi. Pembangunan di Bandung baru menggeliat klembali setelah Indonesia merdeka. Berbagai kegiatan yang sifatnya nasional bahkan internasional dilakukan di kota ini, diantaranya kegiatan Konperensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang melahirkan Dasa Sila Bandung.

Museum Perjalanan Bandung
Perjalanan panjang kota Bandung dengan berbagai peristiwa yang mengirinya serta keindahan alamnya telah menjadi kenangan yang terus melekat pada orang-orang yang merasakannya. Oma-opa serta kakek-nenek kita yang pernah mengalami jaman keemasan Bandung selalu mengenangnya dalam berbagai kisah nostalgia yang diceritakan kepada cucu-cucunya. Tetapi sayang, apa yang diceritakan oleh opa-oma atau nenek-kakek kita tidak dapat dibuktikan oleh cucu-cucunya yang lahir belakangan yang tidak merasakan keindahan dan ketenaran kota ini. Berbagai bukti peninggalan sejarah telah hilang entah kemana, banyak taman yang telah tergusur demi pembangunan gedung perkantoran atau perdagangan bahkan perumahan, semikian pula halnya gedung-gedung tua telah bersalin wujud menjadi gedung-gedung berarsitektur modern guna memenuhi kebutuhan berbagai aktifitas warga kota yang dari hari ke hari semakin berjibun jumlahnya.
Minimnya bukti sejarah yang tersisa serta kurangnya pengenalan sejarah kota kepada generasi muda mengakibatkan banyak orang muda di Bandung tidak lagi mengenal bagaimana perjalanan hidup kotanya dari masa ke masa. Kenyataan ini menurut para ahli akan memudarkan semangat nasionalisme dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar dimana dia tinggal dan menetap, padahal rasa cinta dan kepedulian terhadap daerahnya merupakan modal bagi pembangunan daerah terutama di era otonomi daerah saat ini.
Salah satu upaya untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian generasi muda terhadap tempat tinggalnya, adalah melalui pendirian Museum Sejarah Bandung. Timbul pertanyaan mengapa harus Museum ?, karena Museum sebagai lembaga yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda yang mempunyai nilai sejarah bagi ummat manusia berkenaan dengan kehidupan dan lingkungannya akan mampu memberikan pengenalan akan berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di kota ini.
Semua aspek sejarah perkembangan kota Bandung, dari mulai Bandung mulai dikenal oleh dunia luar, kemudian pembabakan oleh para perintis, selanjutnya berbagai kegiatan pembangunan kota yang terjadi di awal-awal pembentukannya yang melibatkan berbagai komponen masyarakat, baik para sinyo-sinyo Belanda maupun para pribumi, yang telah mengangkat Bandung ke pentas nasional bahkan internasional sampai kepada perkembangan kota ke arah Metropolitan yang penuh dengan keramaian aktivitas sebuah kota yang tidak pernah tidur walau sekejap.
Melalui pendirian Museum Sejarah Bandung diharapkan kenangan indah masa lalu di saat jaman jayanya kota Bandung yang selalu dikenang oleh opa-oma serta kakek-nenek bahkan buyut kita tidak hanya menjadi milik mereka, tetapi dapat juga dinikmati dan dipelajari oleh generasi muda. Pada akhirnya setelah mengenal Bandung secara lebih mendalam diharapkan mereka dapat belajar dari perjuangan serta upaya para pendiri dan pengelola kota di awal pertumbuhan Bandung yang kemudian diharapkan tumbuh rasa cinta dan bangga akan kota dimana mereka lahir dan tumbuh dewasa. Setelah rasa cinta dan bangga muncul diharapkan pada diri mereka tumbuh rasa peduli terhadap perkembangan pembangunan kota ini dan berupaya untuk turut aktif dalam menggerakkan roda pembangunan melalui berbagai upaya positif bagi pembangunan kota.

Bandung : dulu, kini, dan masa depan


Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Tidak terasa kota Bandung saat ini berusia 194 tahun, suatu usia yang tidak muda lagi bagi sebuah kota. Kemajuan di berbagai bidang kehidupan dari hari ke hari semakin nampak dan menjadi salah satu barometer kemajuan di negeri ini. Beragam peristiwa sedih, senang, tragis bahkan membanggakan terjadi silih berganti menghiasi lembaran sejarah perjalanan kota yang berjuluk “Parjs van Java”.
Sebagai salah satu kota di Nusantara, kota Bandung sejak dulu sudah dikenal dan menjadi kebanggan bagi banyak orang tidak hanya warga kota tetapi juga orang-orang yang pernah datang dan berkunjung ke kota ini. Mereka semua bangga menjadi bagian dari warga kota atau orang yang pernah mengunjungi kota ini.
Sebelum pembangunan jalan raya Pos pada jaman pemerintahan gubernur jenderal Daendels (1808-1811), Bandung hanyalah sebuah kampung kecil di tengah belantara hutan tropis yang dikenal dengan sebutan Tatar Ukur. Titik tolak pembangunan Bandung baru dimulai pada tahun 1810 setelah Daendels mengeluarkan Surat Perintah untuk memindahkan ibukota Kabupaten Bandung yang berada di Krapyak (+ 11 km selatan jalan raya pos) ke tepi jalan raya pos (Grote Postweg). Pemindahan Ibu kota kabupaten tersebut telah menjadikan wajah tatar ukur berubah secara drastis menjadi sebuah kota yang ramai dan terkenal di penjuru nusantara.
Pembangunan di berbagai bidang kehidupan telah merubah sebuah keberadaan sebuah kampung kecil di tengah hutan yang penuh dengan rawa menjadi sebuah negeri impian para pengadu nasib. Mereka tidak hanya datang dari daerah sekitar, melainkan juga datang dari berbagai penjuru nusantara. Semuanya berupaya ingin menjadi bagian dari kemilaunya kota impian.

Bandung Tempo Dulu
Pada awal pendiriannya, Bandung atau Tatar Ukur dibangun sebagai pusat pemerintahan kabupaten Bandung sebagai bentuk perealisasian perintah Gubernur Jenderal Belanda saat itu, HW. Daendels, yang memerintahkan ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke daerah yang dilewati jalan raya Pos.
Pertumbuhan kota Bandung semakin pesat, hal ini ditandai dengan didirikannya berbagai infrastruktur pendukung sebuah kota. Semakin lengkapnya infrastruktur kota dan keadaan lingkungan yang memadai menjadikan kota ini dipilih menjadi ibukota karesidenan Priangan pada tahun 1856 menggantikan Cianjur yang realisasi pemindahannya secara resmi baru dilakukan pada tahun 1864.
Setelah ibukota karesidenan pindah dari Cianjur ke Bandung, pada tanggal 1 April 1906 kota Bandung kembali ditingkatkan statusnya menjadi sebuah kota praja (Gemeente) yang dipimpin oleh seorang Walikota. Penetapan ini dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JB Van Heitz melalui ordonansi tertanggal 21 Februari 1906. Duapuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1926, status kota Bandung kembali meningkat menjadi Stadsgemeente (pemerintahan kota besar).
Hasil penelitian HF. Tillema, seorang ahli kesehatan lingkungan dari Semarang pada tahun 1916, menunjukkan lingkungan Batavia (Jakarta) sudah tidak cocok lagi sebagai pusat pemerintahan dan disarankan untuk segera pindah ke kota yang mempunyai lingkungan mendukung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kota Bandung sebagai kota yang cocok sebagai pusat pemerintahan baru menggantikan Batavia. Wacana tersebut segera mendapat dukungan dari berbagai pihak dan mulai direalisasikan, yaitu melalui pembangunan berbagai fasilitas pendukung, terutama gedung-gedung perkantoran pemerintah dan swasta. Namun sayang, akibat terjadinya krisis perekonomian di negeri Belanda yang juga berpengaruh kepada daerah jajahannya pada tahun 1930-an maka rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda menjadi tertunda dan pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena pemerintahan kerajaan Belanda harus menyerahkan tanah jajahannya kepada Jepang. Pada akhirnya hingga sampai saat ini Bandung hanya menjadi Ibukota Provinsi Jawa Barat.
Tidak hanya infrastruktur kota yang dibangun, pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintahan Bandung. Sejak pertengahan abad ke 19 di kota Bandung telah didirikan berbagai pendidikan modern dan pada awal abad ke 20 keberadaan kota Bandung sebagai kota Pendidikan semakin kuat dengan didirikannya Technische Hogesschool (TH) pada tahun 1920. Selain itu untuk meningkatkan pendidikan kaum perempuan, Raden Dewi Sartika merintis pendirian sekolah khusus perempuan yang diberi nama Sakola Kautamaan Istri dengan pelajaran yang diajarkan lebih terfokus pada keterampilan kaum perempuan.
Keindahan kota Bandung tidak hanya ditampilkan melalui gedung-gedung dengan arsitektur menawan tetapi juga dengan keberadaan taman dan ruang terbuka hijau yang tertata dengan apik di berbagai sudut kota. Pemberian label pada setiap tumbuhan yang ditanam di setiap taman dan ruang terbuka hijau telah menjadikan taman sebagai tempat belajar disamping sebagai tempat rekreasi, karena melalui label tersebut warga dapat belajar tentang banyak hal yang berkaitan dengan tanaman. Demikian pula halnya dengan para guru, mereka dengan mudah mengenalkan jenis-jenis tumbuhan yang berada di lingkungan dengan cara mengajak mereka belajar sambil berwisata di taman kota.

Bandung Sekarang
Tidak berbeda jauh dengan tempo dulu, Bandung saat ini merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi idaman para migran. Beribu orang tiap tahunnya datang dari berbagai penjuru negeri untuk mengadu nasib di kota ini, akibatnya jumlah penduduk Bandung dari hari ke hari semakin meningkat dengan pesat dan terus berkembang melebihi jumlah ideal penduduk sebuah kota. Bandung menjadi kota yang berpenduduk terpadat di Indonesia bahkan di dunia. Bandung menjadi kota yang heurin ku tangtung dan Hese usik-usik acan, bahkan ada sebagian orang yang mengatakan di Bandung hese hitut-hitut acan.
Terus meningkatnya jumlah penduduk kota menyebabkan gagasan para pendahulu untuk membangun Bandung dengan konsep kota taman (Tuisnstad) yang digagas oleh Ir. Thomas Karsten saat ini menjadi hancur berantakan dan tidak mungkin untuk diwujudkan kembali sebagaimana awal pembangunan kota. Keberadaan taman kota yang indah dan kawasan terbuka hijau tempat bermain anak-anak serta orang dewasa sebagian telah beralih fungsi menjadi berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan warga kota.
Selain kawasan terbuka hijau yang dirambah, bangunan-bangunan tua dan berbagai monumen yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang sejarah kota Bandung juga turut digusur diganti dengan bangunan baru yang kaku sebagai wujud kota modern. Akibatnya, banyak warga kota tidak mengenal bagaimana wujud kota ini dahulu, bahkan mereka, terutama generasi muda, tidak percaya bahwa dari Bandung pernah memperoleh penghargaan sebagai model kota kolonial (Kolonialstad) disamping kota Hiderabad di India. Kenyataan ini terjadi sebagai akibat dari hilangnya bangunan-bangunan tua di kota Bandung dan berganti dengan bangunan baru.
Jumlah penduduk Bandung yang telah melewati ambang jumlah ideal sebuah kota berpengaruh pula pada jumlah kendaraan yang melanju tiap hari menyusuri jalanan kota. Dari waktu ke waktu jumlah kendaraan terus meningkat dan hal ini tidak didukung dengan kondisi jalan di kota Bandung yang tidak lebar dan banyak persimpangan, akibatnya kemacetan menjadi hal yang biasa bahkan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan warga kota Bandung sehingga muncul pemeo di tengah masyarakat, “kalau tidak macet bukan Bandung”. Selain itu, hak pejalan kaki untuk bisa menyusuri jalanan juga banyak yang tersita, trotoar banyak yang dipersempit bahkan dihilangkan demi kepentingan pelebaran jalan serta tidak sedikit trotoar yang beralih fungsi menjadi kios-kios pedagang kaki lima.

Bandung di Masa depan
Pada awal pertumbuhannya, sejarah telah membuktikan aparat pengelola kota melalui kerja nyata dan dukungan penuh dari warganya telah mampu mengaktualkan motto Ex Undis Sol (Matahari Bersinar diatas Gelombang) dalam bentuk berbagai prestasi dan penghargaan yang diraih serta sanjungan yang diperoleh dari banyak kalangan yang mampu membuat bangga tidak hanya penduduk kota semata, melainkan juga orang-orang yang pernah datang mengunjungi kota Bandung. Berbagai sanjungan dan julukan diperoleh kota ini seperti Parijs van Java, The Garden of Allah, kota Kembang dan berbagai kata pujian serta sanjungan lainnya yang membuat bangga penghuninya hingga saat ini.
Bagi kemerdekaan Indonesia, kota Bandung mempunyai peranan yang sangat penting, karena berbagai peristiwa yang memperlihatkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia diperlihatkan di kota ini. Tokoh-tokoh besar seperti Ir. Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Ir. Juanda, Dr. Setyabudi dan banyak pejuang lainnya memulai karir politiknya di kota ini. Sehingga tidak keliru jika banyak orang yang menjuluki Bandung sebagai kota perjuangan.
Saat ini ketika kota Bandung berulang tahun ke 194, Bandung bukan lagi sebuah kampung kecil di tengah belantara di kaki Tangkubanparahu atau sebuah kota kolonial dengan taman-tamannya yang indah dan bangunannya yang berdiri megah, melainkan sebuah salah satu kota besar dengan penduduk terpadat di Indonesia bahkan menjadi salah satu kota terpadat di dunia. Perkembangan kota yang terus terjadi ke berbagai arah menjadikan kota ini sebagai salah satu metropolitan baru di negeri ini yang jika tidak direncanakan dengan baiik dan dikelola secara maksimal bukan tidak mustahil akan menjadi sebuah kota yang semrawut dan paling tidak karuan. Hal ini disebabkan beban yang harus dipikul kota Bandung akan semakin berat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk kota.
“Hari ini ada setelah melewati kemarin, dan esok akan datang jika melalui hari ini”. Ungkapan ini menunjukkan untuk mempersiapkan Bandung yang lebih di masa yang akan datang kita harus memulainya dari hari ini dan kita juga harus belajar dari masa lalu agar tidak jatuh kedua kalinya di lubang yang sama. Keindahan Bandung masa lalu yang sering diceritakan dan dibanggakan orang tua kita bukan hanya menjadi buaian dan pelipur belaka, tetapi justru harus mampu menjadi inspirasi bagi bagi kita dalam mempersiapkan hari esok yang lebih baik dan mengembalikan kejayaan masa lalu di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Semua upaya membangun Bandung ke arah yang lebih baik akan tercapai jika semua langkah nyata dilakukan dengan kesadaran semua pihak dan dilaksanakan secara maksimal, bukan hanya demi keuntungan proyek atau sekedar retorika dan lips service semata. Semoga melalui berbagai upaya tersebut, Bandung yang bermartabat dapat diwujudkan dalam realita kehidupan bukan sekedar ide belaka.