Kamis, 19 Maret 2009

Kampanye

Dagang diri atau kampanye untuk pemilu legislatif sudah mulai sejak tanggal 16 maret lalu. Semua parpol dan masing-masing calonnya mulai dagang diri serta menjanjikan sesuatu yang lebih baik di esok hari jika terpilih. berbagai cara dan metode dipergunakan agar pemilih tertarik pada apa yang didagangkannya. Tebar janji dan pesona terlihat di mana-mana, yang tadinya jauh dengan masjid sekarang merapat ke masjid dan membantu berbagai kegiatan di masjid sehingga tampak bagaikan orang alim dan berjiwa sosial. Yang dahulunya gak pernah dekat dengan lingkungan masyarakat sekitar, saat ini berbondong mendekati masyarakat termasuk ke kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Modal seberapa pun besarnya seolah tidak menjadi soal, bahkan banyak diantaranya yang rela menjual harta kekayaan bahkan pinjam dari sana sini termasuk dari rentenir demi membiayai "sosialisasi" atau kampanye, demi mendekatkan diri dengan rakyat pemilih.
Muncul pikiran dalam benak saya dan juga mungkin orang lain selaku orang awam yang hanya menjadi penonton, apakah mereka akan merealisasikan janjinya dan tetap berjiwa dekat dengan rakyat setelah terpilih ?
Jawabnya "entahlah", karena banyak di antara mereka hanya jual diri agar terpilih dan setelah terpilih lupa deh ama janjinya.
Itu kalo terpilih sebagai anggota Dewan yang terhormat, jika tidak bagaimana yach ? karena saat ini semua caleg dan parpol SIAP UNTUK MENANG namun belum tentu Siap untuk kalah apalagi jika dilihat dari modal yang mereka keluarkan.
Melihat fenomena tersebut, tidaklah salah jika dalam berita di stasiun TV beberapa hari lalu muncul berita tentang kesiapan RSJ (Rumah sakit Jiwa) dalam mengantisipasi melonjaknya jumlah pasien pasca pemilu karena pasti jumlah pasien melonjak pasca pemilu akibat Stres karena tidak kepilih dan gila memikirkan modal kampanye yang tidak kembali. Sungguh sebuah ironi yang menimpa negeri ini.
Semoga kita tidak termasuk orang yang gila kedudukan sehingga mengejarnya dengan berbagai cara, karena kedudukan dan jabatan adalah amanat !!!!!!! semoga.....

Kamis, 12 Maret 2009

Saya = Kecap nomor satu !

Pemilu, pemilu kan segera tiba.
Ingat jangan lupa contreng nama saya !!!!
kata-kata itu dan berbagai janji akan menjadi wakil rakyat yang baik dan siap melakukan perubahan serta mengaku diri paling layak untuk dipilih terpampang menghiasi foto yang gagah, cakep dan cuantik di berbagai baliho yang saat ini mudah kita jumpai di setiap penjuru negeri, gak di kota ga di desa, ga di pinggir kampung atau di tengah sawah bahkan di tengah hutan.
mengaku diri sebagai yang terbaik dan terrevormis dan paling layak tuk dipilih layaknya iklan kecap. semuanya pasti mengaku nomor satu, paling baik, paling enak dan paling layak dipilih.
Sayang, banyak baliho hanya menawarkan janji manis belaka, tidak ada yang berani mengatakan "ini kelemahan saya" karena jika berani mengatakan ini kelemahan saya, maka sudah dipastikan upayanya untuk jadi anggota legislatif menjadi terhambat, karena orang dipastikan gak akan memilih dia.
kondisi tersebut menunjukkan saat ini banyak orang yang gila kekuasaan, mereka hanya berfikir bagaimana saya lolos menjadi anggota dewan dan dapat mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.
Saat ini sebenarnya yang diinginkan orang adalah bukti bukan janji. kenapa para caleg itu tidak berfikir untuk berbuat karya nyata ? coba bayangkan berapa banyak data yang harus dikeluarkan hanya untuk membuat baliho dan memasangnya di sepanjang jalan strategis sedang di sisi lain jalan tempat baliho tersebut dipasang kondisinya bolong-bolong, becek dan sebagainya pokoknya gak nyaman deh. padahal jika dana untuk membuat baliho tiap caleg dikumpul sudah pasti kita tidak akan menemukan lagi kondisi jalan yang menghawatirkan. tapi sayang ga ada yang berani......

SUDAHKAH ANAK-ANAK MERDEKA?

Oleh Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Berbeda dengan dunia orang dewasa yang penuh dengan persaingan dan kepura-puraan, dunia anak adalah dunia yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan sehingga setiap orang pasti akan selalu mengingat indahnya dunia anak dimana bermain dengan teman sebaya sambil bersuka ria menjadi bagian terbesar kehidupannya. Namun sayang, hak seorang anak untuk menikmati dunianya sering kali dilupakan demi kepentingan dan obsesi orang dewasa, termasuk orang tua. Banyak lapangan tempat bermain anak harus berubah fungsi menjadi sarana yang lebih menjual secara ekonomis dibanding jika hanya berbentuk lapangan tempat bermain anak.
Akibat anak tidak mempunyai tempat bermain bersama teman seusianya, mereka kemudian bermain di jalan umum, gang atau trotoar yang seringkali membahayakan jiwa mereka dan juga mengganggu berbagai aktifitas di tempat tersebut. Tidak sedikit anak yang terserempet kendaraan bermotor ketika sedang bermain di jalanan atau pejalan kaki dan pengendara sepeda otor yang jatuh tersungkur karena mengindari tubrukan dengan anak-anak yang sedang berlari di jalanan atau bermain bola.
Salahkah mereka ? jawabnya tidak, karena anak-anak memang butuh temnpat bermain untuk mengekspresikan hidupnya. Dalam kenyataan ini yang perlu disalahkan adalah orang dewasa yang hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata tanpa memikirkan masa depan generasi penerus dengan tidak menyediakan tempat yang representatif sebagai tempat dimana anak bisa bermain dan berkumpul dengan teman seusianya.
Keindahan masa kanak-kanak tidak oleh semua anak dapat dirasakan, karena sebagian di antara anak-anak kita harus menghabiskan waktunya dengan bekerja mencari penghidupan guna membantu orang tua, bahkan tidak sedikit anak-anak tersebut harus berjuang mempertahankan hidup secara sendirian, tidak ada yang melindungi dan menyayangi.
Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang mencukupi, kebutuhan hidup bukanlah sesuatu yang menjadi beban mereka, tetapi banyak di antara mereka yang harus merelakan hilangnya waktu bermain karena hari-harinya dipenuhi oleh jadwal dan rutinitas. Mereka bukannya berjuang untuk mencari sesuap nasi tetapi mereka berjuang demi obsesi orang tua agar anaknya menjadi orang yang sukses yang dikemudian hari kelak dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya. Selain itu, banyak di antara mereka yang dalam mengisi hari-harinya berlimpah dengan mainan dan materi namun jauh dari belaian lembut kasih sayang orang tua. Kenyataan ini terjadi bukan karena mereka tidak mempunyai orang tua melainkan karena kedua orang tua mereka disibukkan oleh berbagai aktifitas mengejar kekayaan dan ketenaran.

Eksploitasi Anak
Keberhasilan dalam menggapai prestasi merupakan harapan orang tua terhadap anak-anaknya. Mereka akan merasa bangga dan berhasil mendidik anak jika buah hatinya itu mampu mencapai prestasi di bidang yang disukainya. Untuk mencapai obsesi tersbeut tidak sedikit orang tua dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya dipola sedemikian rupa agar mencapai prestasi sesuai keinginan dan harapannya. Akibatnya, hari-hari si anak dipenuhi dengan jadwal yang padat hingga dia kehilangan masa kecilnya yang indah, masa dimana mereka dapat merasakan indahnya bermain dan bercengkerama dengan teman, saudara dan orang tua.
Selain karena faktor obsesi orang tua yang ingin melihat keberhasilan anak-anaknya, sebagian anak-anak kita juga kehilangan masa kecilnya karena meraka harus bergelut dengan waktu, membanting tulang membantu orang tua mencari sesuap nasi. Waktu bermain mereka jelas tersita, karena di usia yang masih dini mereka juga harus turut memikirkan kesulitan yang diderita orang tua dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Anak-anak yang tidak bisa menikmati hari-harinya juga bisa kita saksikan di hampir semua sudut kota. Mereka harus berjuang dengan keras agar dapat bertahan hidup dan menghindari serta mengatasi berbagai bahaya yang mengancamnya secara mandiri karena tidak mempunyai tempat berlindung atau mengadu, bahkan tidak sedikit di antaranya yang tidak mengetahui siapa ayah dan ibu mereka.

Dimana anak bermain ?
Bermain bagi seorang anak merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Melalui bermain mereka belajar tentang kehidupan yang akan dijalaninya di masa mendatang, Melalui bermain pula mereka belajar bagaimana hidup bersama di tengah masyarakat (bersosialsasi dengan lingkungan). Kebersamaan dan belajar hidup bersama di tengah masyarakat merupakan salah satu bentuk manfaat bermain bagi anak-anak disamping sebagai upaya untuk melatih daya pikir dan kreatifitasnya.
Jumlah penduduk yang terus meningkat serta aktifitasnya yang semakin beragam terutama di perkotaan menyebabkan banyak lahan terbuka hijau berubah fungsi menjadi rumah atau gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan atau fasilitas umum lainnya. Akibatnya, anak-anak kita kehilangan tempat bermain yang aman dan tidak menantang bahaya. Mereka kehilangan tempat untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan belajar hidup bermasyarakat. Mereka tidak bisa lagi berkejar-kejaran mengitari lapang atau bermain layangan dan bermain galah asin di sore hari sambil menunggu terbenamnya matahari.
Kehidupan bersama yang diperlihatkan oleh anak-anak ketika bermain di lapangan, saat ini hanya tinggal kenangan. Kegiatan bermain mereka tidak lagi dilakukan secara bersama melainkan mulai mengarah ke indual. Video Games, Play Station dan berbagai jenis permainan keterampilan individual menjadi pilihan anak-anak dalam bermain.
Di sisi lain, semakin minimnya lapangan tempat bermain bukan berarti menghambat anak untuk bermain di luar bersama teman-temannya. Mereka nekad menantang bahaya bermain di trotoar, Gang bahkan jalanan. Mereka nekad menantang bahaya demi memenuhi kebutuhannya untuk bisa bermain bersama teman sebaya. Sehingga kita menjadi tidak aneh jika mendengar anak yang mendapat kecelakaan lalu lintas ketika memburu layangan putus atau ketika sedang bermain berkejaran di jalanan.
Tidak hanya itu, sekolah yang seharusnya mampu memberi fasilitas belajar dan bermain serta berkreasi bagi mereka saat ini banyak yang tidak mampu menyediakan fasilitas tersebut, karena lahannya yang sempit sudah dipenuhi dengan ruang kelas dan tidak mempunyai halaman bermain yang memadai. Akibatnya, di banyak sekolah anak-anak tidak bisa bermain dengan leluasa bahkan ketika pelajaran olah raga banyak diantaranya yang memanfaatkan jalanan yang ramai sebagai tempat berolah raga. Hal ini jelas akan menghambat dan mengganggu pengendara kendaraan bermotor dan membahayakan jiwa anak-anak.

Kemerdekaan Bagi Mereka
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan sengaja atau tidak, anak-anak kita tercabut hak kemerdekaannya, yaitu kebebasan mereka dalam menikmati kehidupan yang sesuai dengan usianya. Saat ini, dengan berbagai alasan yang disengaja atau tidak mereka tidak bisa menikmati dunianya secara memadai karena kepentingan mereka selalu terkalahkan oleh kepentingan orang dewasa, padahal mereka juga mempunyai hak yang sama dalam menikmati kebebasan dan kemerdekaan.
Kepedulian kita sebagai orang dewasa kepada anak-anak kita tidak cukup hanya dicurahkan melalui berbagai jargon dan kata-kata, melainkan perlu diwujudkan dalam bentuk karnya nyata yang dapat dirasakan oleh anak-anak.
Kasih sayang tulus dari orang tua, perlindungan dari orang dewasa, kebebasan dalam berkreasi serta tempat bermain bersama teman sebaya yang aman dan nyaman merupakan dambaan dan harapan mereka. Untuk itulah diperlukan suatu kearifan dari kita selaku orang dewasa dan orang tua dari mereka dalam memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan dan mereka harapkan sebagai wujud pemberian kemerdekaan bagi mereka.
Pada akhirnya semoga di saat kita memperingati hari kemerdekaan negeri ini, kita dapat memberikan suatu hadiah kemerdekaan bagi anak-anak kita, suatu kemerdekaan yang sesungguhnya sesuai dengan harapan dan ukuran mereka, bukan harapan dan ukuran orang dewasa atau orang tua. Semoga.....

MELESTARIKAN KI SUNDA TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd.

Belakangan Ki Sunda menjadi topik pembicaraan yang hangat di haraian ini, semua penulis merasa khawatir akan lenyapnya Ki Sunda dari muka bumi dan hanya manusianya saja yang tersisa, sedang ruhnya hilang ditelan jaman. Ketakutan akan matinya Ki Sunda memang bukan tanpa alasan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah masyarakat sunda - terutama generasi muda - merasa lebih bangga jika menggunakan dan mengkonsumsi berbagai produk made in luar serta bergaya hidup barat. Mereka merasa malu jika menggunakan serta mengkonsumsi dan menikmati produk lokal serta menerapkan nilai-nilai luhur kasundaan dalam perilaku keseharian dengan alasan agar tidak dianggap kampungan.
Kecenderungan untuk bangga dangan tatanan yang berasal dari luar dibanding tatanan budaya sendiri merupakan suatu awal dari mulai melunturnya jatidiri sebagai bagian orang sunda dan jika dibiarkan secara perlahan namun pasti akan mengantarkan Ki Sunda pada lubang kematian yang mengenaskan karena tiada lagi orang yang peduli akan kelestarian dan keabadiannya.
Pengadopsian nilai-nilai positif yang datang dari luar demi kepentingan pembangunan dan kemajuan bangsa bukanlah sesuatu yang tabu, karena kita tidak bisa menghindar dari pengaruh nilai dan budaya Global yang semakin kencang dihembuskan oleh negara maju. Tetapi upaya pengadopsian nilai-nilai tersebut harus diimbangi dengan kesiapan kita dalam mempertahankan nilai-nilai luhur Ki Sunda sebagai ciri dan jati diri manusia Sunda dari hempasan angin globalisasi agar nilai-nilai luhur Ki Sunda tidak hancur lebur diterpa angin globalisasi namun sebaliknya mampu menjadi kekuatan yang besar di tengah persaingan kebudayaan global.
Sikap masyarakat yang cenderung konsumtif, materialistis dan hedonisme merupakan bagian dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh Globalisasi yang terus menyerbu masuk tanpa bisa dicegah. Padahal bila kita menilik apa yang diungkapkan oleh Naisbitt bahwa untuk memasuki era global kita tidak perlu meninggalkan nilai yang berkembang secara turun temurun di masyarakat, karena yang akan berperan adalah kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat.

Siapa yang bertanggung jawab ?
Kematian Ki Sunda yang sudah diambang pintu bukan tanggung jawab satu individu atau kelompok tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu individu orang Sunda, Sekolah, Masyarakat Sunda dan pemerintah. Setiap elemen tersebut mempunyai potensi yang sama dalam upaya melestarikan atau menghancurkan keberadaan Ki Sunda di muka bumi.
Dalam lingkungan keluarga Sunda, Orang tua mempunyai kewajiban yang tidak kecil dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. Mereka mempunyai kewajiban untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada anak-anaknya. Tetapi sayang, dewasa ini banyak orang tua -terutama kalangan muda- yang dengan berbagai alasan merasa tidak sreg mengenalkan nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada anak-anak mereka, termasuk mengenalkan penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari walau cenderung dipaksakan.
Sekolah selaku lembaga pendidikan formal mempunyai tugas yang tidak ringan yaitu mempersiapkan anak didik untuk mampu menjawab tantangan masa depan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini jelas menunjukkan sekolah mempunyai peranan yang strategis dalam upaya pentransformasian nilai-nilai luhur Ki Sunda kepada generasi muda melalui materi-materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas. Namun sayang upaya pentransformasian nilai-nilai luhur Ki Sunda sering kali kurang mendapat respon positif dari para pengelola dan penentu kebijakan di Sekolah. Nilai-nilai luhur Ki Sunda dilupakan dan atau dianggap tidak mampu menjawab tuntutan Global. Akibatnya anak menjadi tidak mengenal nilai budaya daerahnya, kebanggaan mereka terhadap Ki Sunda dari hari ke hari semakin meluntur, serta mereka lebih bangga mengunakan berbagai identitas yang berasal dari luar yang sebenarnya belum tentu cocok dengan kondisi lingkungan dimana mereka tumbuh dan berkembang.
Elemen lainnya yang tidak kalah mempunyai peran dalam pelestarian atau penghancuran Ki Sunda, adalah masyarakat Sunda itu sendiri karena di tengah masyarakatlah pendidikan untuk masa depan yang sebenarnya bagi seorang anak. Nilai-nilai luhur Ki Sunda tidak akan bisa ditransformasikan dengan baik jika lingkungan masyarakat tidak mendukung dalam pengaktualan nilai-nilai luhur Ki Sunda dalam realita kehidupan bermasyarakat.
Elemen yang tidak kalah pentingnya dalam pelestarian nilai luhur Ki Sunda adalah Pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Propinsi Jawa Barat dan Banten serta pemerintah kota dan kabupaten di tatar Sunda) karena tanpa adanya upaya perlindungan dari pemerintah untuk melindungi Ki Sunda dari kepunahan maka berbagai upaya pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat Sunda tidaklah akan berhasil dengan maksimal, bahkan secara lambat laun nilai-nilai luhur Ki Sunda yang berkembang di masyarakat meluntur dan hanya akan menjadi kenangan dan kebanggan orang tua kita semata tanpa ada realisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup
Setiap orang yang mengku dirinya orang sunda di mana pun dia berada pasti tidak akan rela jika eksistensi Ki Sunda harus hilang dari muka bumi. Kita pasti tidak ingin kebesaran nama serta keluhuran nilai-nilai Sunda hanya menjadi legenda di tengah masyarakat semata. Untuk itulah agar Ki Sunda tetap eksis maka semua elemen masyarakat harus paheuyeuk-heuyeuk leungeun babarengan memelihara dan melestarikan Ki Sunda melalui berbagai upaya pewarisan nilai dan budaya kepada generasi muda Sunda. Semoga melalui upaya tersebut Ki Sunda akan tetap eksis di muka bumi hingga kiamat menghancurkan dunia.

MENJADIKAN BANDUNG SEBAGAI KOTA

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd

Bandung saat ini dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata belanja dengan berbagai sentra perbelanjaan khas yang tersebar di hampir setiap penjuru kota. Keberadaan kawasan Cihampelas, Cibaduyut, Jatayu, dan berbagai Factory Outlet (FO) yang tersebar di hampir semua penjuru kota sudah dikenal di seantero negeri, bahkan sampai ke manca negara. Sehingga tidak heran jika weekend atau hari libur, jalanan di Bandung dan kawasan-kawasan perbelanjaan dipadati oleh para pendatang yang berasal dari luar kota yang datang untuk berbelanja.
Agar para wisatawan yang datang ke Bandung tidak bosan dengan objek wisata yang selama ini ada dan sudah dikenal, pemerintah dan pelaku wisata perlu menggali asset wisata lainnya yang mampu meningkatkan angka kunjungan wisata. Upaya yang dapat dilakukan selain menciptakan objek wisata baru juga perlu melihat potensi wisata yang selama ini ada tetapi belum tergali secara maksimal. Potensi wisata yang bisa digali tersebut, adalah potensi Wisata Pendidikan, karena kota Bandung memiliki berbagai aset pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata pendidikan.
Aset pendidikan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat tujuan wisata pendidikan, adalah berbagai fasilitas pendukung pendidikan yang dimiliki kota Bandung dan tidak dimiliki oleh kota-kota lain, sehingga keberadaannya menjadi cukup eksklusif. Tempat-tempat tersebut, adalah Museum Geologi, Museum Konperensi Asia Afrika (KAA), Museum Pos Indonesia, Museum Jawa Barat “Sri Baduga”, Museum Perjuangan “Mandala Wangsit Siliwangi”, Observatorium Boscha dan berbagai pusat penelitian serta perguruan tinggi yang ada di kota ini.
Keberadaan tempat-tempat tersebut telah menjadikan kota Bandung sebagai pilihan favorit untuk dikunjungi para pelajar dan mahasiswa dari berbagai pelosok negeri yang bertujuan untuk wisata sambil belajar. Sehingga tidak heran jika musim liburan sekolah, tempat-tempat tersebut selalu dipenuhi ribuan pelajar yang datang dari berbagai kota di Indonesia secara berombongan atau sendiri-sendiri.
Selain mengunjungi Museum, observatorium dan berbagai pusat penelitian, sebagian rombongan pelajar juga datang ke kota Bandung untuk berkunjung ke Perguruan Tinggi, terutama Perguruan Tinggi Negeri dan Kedinasan dengan tujuan untuk mengetahui dari dekat keberadaan Perguruan Tinggi tersebut beserta fasilitas pendukung pendidikan sebagai bekal untuk memilih tempat studi selanjutnya setelah SMU.
Tetapi sayang, keberadaan Museum, Observatorium dan fasilitas pendukung pendidikan lainnya belum dikelola secara maksimal sebagai tempat tujuan wisata yang mampu menghasilkan secara finansial. Hal ini dikarenakan keberadaan tempat-tempat tersebut tidak dikategorikan sebagai tempat tujuan wisata melainkan sebagai sarana pendidikan yang pengelolaannya secara nirlaba. Padahal, jika keberadaan tempat-tempat tersebut dikelola secara maksimal dan difungsikan sebagai tempat tujuan wisata pendidikan bukan mustahil akan mampu mendatangkan pemasukan yang dapat menutup biaya pemeliharaan serta tentunya mampu memberikan kontribusi terhadap kas daerah.

Upaya menjadikan Bandung sebagai Tujuan Wisata Pendidikan
Guna menjadikan Bandung sebagai kota tujuan wisata pendidikan perlu dilakukan suatu kerjasama antar seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, terutama pengelola fasilitas pendukung pendidikan (Museum, Obsevatorium dan pusat penelitian), Perguruan Tinggi, Biro Perjalanan, dan pemerintah daerah. Karena tanpa adanya kerjasama yang dijalin antar komponen-komponen tersebut upaya menjadikan Bandung sebagai kota tujuan wisata pendidikan tidak akan berhasil dan hanya akan menjadi angan-angan belaka. Para wisatawan pendidikan akan beralih ke kota lain yang menyediakan fasilitas serupa tetapi dikelola secara lebih profesional.
Untuk menjadikan Bandung sebagai tujuan wisata pendidikan, beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan pihak terkait lainnya diantaranya :
1. Berbagai fasilitas penunjang pendidikan yang berada di wilayah Bandung dan keberadaannya sudah dikenal, seperti Museum dan Observatorium perlu dikelola secara lebih profesional. Keberadaan tempat tersebut, terutama observatorium, tidak hanya diperuntukkan sebagai tempat belajar pelajar dan mahasiswa, tetapi juga dapat dibuka untuk umum sebagai tempat tujuan wisata dengan tentunya tidak mengganggu kegiatan sehari-hari sebagai tempat belajar. Selain itu, perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung wisata pendidikan lainnya, seperti pusat informasi, tempat penjualan suvenir, perpustakaan serta ruang pamer.
2. Keberadaan objek wisata pendidikan perlu diinformasikan secara aktif kepada masyarakat luas melalui promosi wisata yang terintegrasi promosi wisata lainnya yang sudah ada. Melalui upaya ini diharapkan masyarakat luas mengetahui keberadaan objek-objek wisata pendidikan tersebut.
3. Para pengelola biro perjalanan di Bandung perlu memfasilitasi para wisatawan yang bermaksud melakukan wisata pendidikan dengan membuka paket-paket wisata dengan tujuan objek wisata pendidikan di Bandung dan sekitarnya, seperti Museum, Observatorium, bahkan kampus.
4. Di era perubahan status kampus Perguruan Tinggi Negeri menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), pihak pengelola Perguruan Tinggi perlu menciptakan berbagai usaha yang mampu mendatangkan keuntungan secara finansial. Salah satunya menjadikan lingkungan kampus dan berbagai fasilitas pendidikan yang dimilikinya sebagai objek wisata pendidikan.
5. Pengelola Museum, Observatorium dan pusat penelitian perlu secara rutin melakukan kegiatan open dan berbagai kegiatan lainnya yang mampu mengumpulkan massa, terutama pelajar, mahasiswa dan masyarakat lainnya yang haus akan pengetahuan. Untuk menjadikan kegiatan semacam ini menjadi tujuan wisata, maka penyelenggara perlu melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam mempromosikannya, salah satu diantaranya bekerjasama dengan biro perjalanan wisata. Melalui kerjasama tersebut diharapkan biro perjalanan wisata dapat mempromosikan kegiatan tersebut dan menjadikan even tersebut sebagai salah satu paket yang ditawarkan untuk dikunjungi wisatawan.

Melalui upaya yang dilakukan tersebut diharapkan keluhan yang selama ini muncul dari pengelola fasilitas penunjang pendidikan tersebut, seperti tidak sesuainya antara pemasukan dengan biaya pemeliharaan, masih terus bergantung pada instansi yang menaungi, kesulitan menambah koleksi serta keluhan lainnya yang disebabkan oleh minimnya pemasukan dapat diatasi yang pada akhirnya akan menjadikan lembaga-lembaga tersebut menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri sebagai lembaga penelitian dan wisata.
Pada akhirnya melalui berbagai upaya tersebut diharapkan potensi wisata yang selama ini belum tergali dan masih sedikit pihak yang meliriknya dapat tergali secara optimal dan mampu menjadi salah satu primadona kegiatan wisata kota kembang serta dapat melengkapi peran kota Bandung sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia. Semoga....

KEMANA TROTOAR KAMI ?

Oleh : Dr. Iwan Hermawan, M.Pd

Menurut para ahli kesehatan, berjalan kaki adalah kegiatan yang sangat menyehatkan bagi setiap individu tanpa mengenal jenis kelamin dan usia. Tetapi sayang, jalan kaki saat ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh masyarakat terutama dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Hal ini disebabkan koridor pejalan kaki atau trotoar atau kaki lima yang berada di tepian jalan saat ini banyak yang berubah fungsi atau bahkan tidak sedikit ruas jalan yang tidak memiliki trotoar, terutama ruas jalan yang menuju kawasan pemukiman.
Keberadaan trotoar di banyak sudut kota telah banyak berubah fungsi dari fungsi utamanya sebagai koridor khusus pejalan kaki menjadi fungsi lain, yaitu sebagai tempat berjualan atau sebagai tempat parkir atau berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan orang yang berjalan kaki harus rela turun ke ruas jalan dan berebut tempat dengan pengendara kendaraan.
Pergeseran fungsi dari trotoar jelas membuat ketidak-nyamanan para pejalan kaki, mereka tidak lagi bisa tenang berjalan sambil menikmati keindahan dan keramaian kota karena mereka harus ekstra hati-hati jangan sampai terserempet kendaraan yang lalu lalang, demikian pula sebaliknya para pengendara kendaraan juga harus benar-benar hati-hati agar tidak melanggar para pejalan kaki.
Di banyak sudut kota, malasnya orang berjalan di trotoar tidak hanya sebagai akibat dari peralihan fungsi, tetapi juga disebabkan oleh kondisi fisik trotoar yang seringkali membuat tidak nyaman untuk berjalan kaki. Lebar trotoar seringkali sempit, kurang dari satu meter dan curam serta banyak terpotong oleh pintu masuk ke halam rumah atau perkantoran atau toko. Akibatnya, walau tidak dipenuhi oleh pedagang kakilima para pejalan kaki tetap memilih berjalan di tepian jalan dan tidak memanfaatkan trotoar yang telah tersedia, karena resiko celaka akibat terjembab atau terperosok lebih besar dan bisa lebih fatal dibanding jika berjalan di badan jalan.
Ketidaknyamanan orang berjalan kaki menelusuri trotoar juga disebabkan oleh banyaknya pihak yang melakukan “perusakan” terhadap trotoar dengan alasan pembangunan, seperti penggalian untuk kepentingan pemasangan jaringan Telepon, Listrik atau PDAM. Kegiatan “gali lobang tutup lobang” seolah tiada henti, satu instansi selesai berganti instansi lain dan demikian seterusnya. Selama kegiatan penggalian tersebut jelas masyarakat harus rela terganggu aktifitasnya, tetapi yang sering terjadi banyak bekas galian tidak diselesaikan secara maksimal oleh “pelaku” penggalian dan masyarakat pengguna hanya bisa menggerutu dalam hati serta berjalan di tepi jalanan dengan penuh kehati-hatian jangan sampai Celaka. Karena hanya itulah yang bisa dilakukan warga, mereka tidak punya kuasa untuk menuntut kenyamanan berjalan kaki walau itu adalah hak setiap pejalan kaki siapa pun orangnya, normal atau cacat.
Dari segi peraturan lalu lintas jelas apa yang dilakukan oleh masyarakat itu keliru dan dari sisi masyarakat juga sebenarnya mereka tidak mau dirinya menantang bahaya dengan berjalan di badan jalan, tetapi apa daya para pejalan kaki di kita kurang mendapat perhatian dari para penentu kebijakan dalam pembangunan. Hal ini tampak dalam pembangunan jalan yang lebih memprioritaskan pengendara kendaraan dibanding pejalan kaki. Dari hari ke hari panjang dan lebar jalan selalu bertambah tetapi sayang dalam pembangunannya sering kali melupakan pembangunan trotoar, padahal antara pengendara kendaraan dengan pejalan kaki mempunyai hak yang sama dalam memanfaatkan akses jalan tersebut.

Berjalan kaki tidak nyaman
Trotoar atau kaki lima merupakan tempat orang melakukan aktivitas jalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Pada awal pembangunan kota-kota modern di negeri ini, pemerintah kolonial Belanda dalam pembangunan sebuah jalan selalu menyediakan jalur pejalan kaki di tepi kanan dan kiri jalan yang lebarnya masing-masing lima kaki (1,5 meter) dari tepi badan jalan, tujuannya agar para pejalan kaki dapat menyusuri jalanan dengan nyaman tanpa was-was terserempet kendaraan.
Kalau dahulu ketika jalanan masih jarang kendaraan dan trotoar yang tersedia di tepi jalan cukup lebar, masyarakat merasakan nyamannya berjalan kaki, tetapi saat ini kenyamanan tersebut mulai hilang bagi para pejalan kaki karena setiap berjalan kaki di tepian jalan perasaan was-was akan bahaya yang mengancam selalu membayangi akibatnya berjalan kaki di jalan bukan lagi menjadi kegiatan yang menyehatkan melainkan suatu kegiatan yang mengundang bahaya.
Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para pejalan kaki ketika menyusuri jalanan di perkotaan, saat ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya :
1. Tidak tersedianya trotoar atau kaki lima di pinggir jalan.
2. Beralih fungsinya Trotoar menjadi tempat berjualan, parkir dan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan pejalan kaki terganggu akibat semakin sempitnya trotoar dan akhirnya mereka memilih turun ke badan jalan.
3. Pembangunan trotoar yang kurang manusiawi, dimana trotoar yang dibangun lebih tinggi dari badan jalan dan banyak terpotong oleh jalan masuk ke halaman perkantoran, perumahan atau toko dengan posisi yang curam. Akibat harus naik turun ketika berjalan menyusuri trotoar, orang menjadi enggan untuk berjalan di trotoar karena harus lebih waspada ketika berjalan karena bisa-bisa terjatuh bila kurang hati-hati.
4. Penggalian jalan dan atau trotoar yang sering dilakukan oleh instansi terkait, sering kali setelah selesai dibiarkan begitu saja atau bila diperbaiki kurang sempurna menyebabkan terganggunya pejalan kaki dalam menyusuri trotoar.

Ketidaknyamanan pejalan kaki sebagai akibat dari faktor-faktor tersebut menyebabkan mereka terpaksa harus memilih berjalan di badan jalan walau hal itu sangat membahayakan dan mereka tidak bisa memilih atau protes terhadap ketimpangan dalam pemenuhan haknya sebagai pengguna jalan karena dianggap sudah biasa walau pun mereka seharusnya memiliki hak untuk memperoleh kenyamanan dalam berjalan kaki, karena walaupun protes pasti keluhan atau protes mereka hanya akan didengar tapi entah kapan direalisasikannya.
Kenyataan ini menunjukkan pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam pembangunan berbagai fasilitas kota kurang mampu meberikan rasa adil bagi warganya dalam menikmati fasilitas jalan. Pemerintah lebih mementingkan para pengguna kendaraan dibanding para pejalan kaki.

Berjalan kaki yang Nyaman
Sebagai bagian dari pengguna jalan, pejalan kaki mempunyai hak yang sama dengan pengendara kendaraan. Agar warga kota dapat melakukan kegiatan berjalan kaki dengan berjalan kaki, yaitu melalui berbagai upaya terutama dalam pembangunan ruas jalan, diantaranya :
1. Melengkapi semua jalanan di kota dan jalanan yang menuju ke kawasan pemukiman dengan trotoar yang memadai sehingga pejalan kaki dapat nyaman berjalan tanpa dihantui ketakutan akan memperoleh celaka di jalanan.
2. Trotoar atau kaki lima perlu dibangun bukan hanya sekedar bagi hiasan kota melainkan harus manusiawi, yaitu mampu memberikan kenyamanan bagi penggunanya termasuk para penyandang cacat. Upaya ini dpat dilakukan dengan cara : (a) membangun trotoar yang melandai pada bagian yang terpotong oleh dengan jalan masuk; (b) sepanjang trotoar harus terhindar dari berbagai hambatan, termasuk pohon pelindung, yang dapat menghambat pejalan kaki, sehingga ketika di satu titik harus berpotongan dengan pohon pelindung maka trotoar tidak boleh terputus melainkan harus mengitarinya.
3. Mengembalikan fungsi trotoar yang telah ada kepada fungsi aslinya sebagai tempat pejalan kaki, yaitu dengan menghilangkan kegiatan perparkiran yang dilakukan di trotoar, karena trotoar bukan tempat untuk parkir.
4. Pengaturan pedagang kaki lima agar mereka dalam beraktivitas tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaki, karena fungsi utama trotoar adalah untuk pejalan kaki bukan kegiatan usaha.
5. “Perusakan sementara” trotoar sebagai dampak dari pembangunan berbagai instalasi fital di bawahnya oleh berbagai instansi yang berkepentingan, ketika selesai maka harus dikembalikan ke kondisi semula dan menjadi lebih manusiawi agar setelah selesai aktivitas “gali lobang tutup lobang” trotoar dapat dinikmati kembali oleh para pejalan kaki secara nyaman bahkan lebih nyaman dibanding sebelumnya.
6. Untuk menghindari “gali lobang tutup lobang” di trotoar oleh berbagai instansi yang berkepantingan, maka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diharapkan bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga masyarakat tidak terlelu sering terganggu oleh aktivitas “perusakan” trotoar atau jalan. Untuk itu diperlukan suatu kerjasama yang antar pihak yang berkepentingan dalam mensinergikan program pembangunan jaringan bawah tanahnya.
7. Membangun saluran raksasa yang multi guna dibawah trotoar/jalan kota yang bisa menampung semua kebutuhan proyek pembangunan jaringan bawah tanah, seperti PDAM, Listrik, Telepon dan Saluran air kotor seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Melalui upaya ini diharapkan pengguna jalan tetap nyaman dan bila diperlukan pemasangan instalasi baru tidak merusak infrastruktur jalan di atasnya.

Melalui upaya pengembalian fungsi trotoar kepada fungsi aslinya, yaitu sebagai tempat orang berjalan kaki serta meningkatkan kondisi trotoar untuk menjadi lebih manusiawi diharapkan kebiasaan orang berjalan kaki dapat ditumbuhkan kembali, karena selain menyehatkan tubuh berjalan kaki juga mampu mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor.
Keberadaan trotoar atau kaki lima yang manusiawi diharapkan selain mampu menjadikan masyarakat menjadi lebih tertib ketika berjalan di jalanan, juga diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata dalam kota. Karena melalui kondisi trotoar yang nyaman dengan lingkungan yang mendukung bukan mustahil banyak diantara para wisatawan untuk berjalan kaki menyusuri jalanan kota sambil menikmati keindahan kota seperti halnya di banyak negara dimana taman-taman kota, blok perkantoran, eprumahan dan perbelanjaan menjadi daya tarik wisata jalan kaki.
Harapan kita sebagai warga kota, semoga di masa mendatang, keberadaan trotoar dapat menjadi surga bagi pejalan kaki yang ingin menikmati nyamannya berjalan kaki menyusuri jalanan sambil menikmati indahnya udara sore atau udara pagi.
DIMUAT : KALAM JABAR REPUBLIKA, 21 JULI 2004