Jumat, 16 Januari 2009

GURU, PROFESI YANG TERMARJINALKAN.


Oleh : Iwan Hermawan

Hari-hari belakangan ini berbagai sorotan gencar menyorot berbagai sisi kehidupan seorang guru. Mulai dari sorotan terhadap banyaknya pungutan yang dilakukan guru dengan berbagai alasan guna meningkatkan mutu pendidikan, posisi guru sebagai distributor buku pelajaran bagi siswa, hingga sorotan terhadap keprofesionalannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Kenyataan ini menunjukkan masyarakat takut anak-anak mereka tidak memperoleh pendidikan yang berkualitas baik sesuai dengan harapan dan dambaan mereka.
Harapan masyarakat akan pendidikan yang bermutu sebenarnya juga merupakan obsesi seorang guru ketika mereka melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar. Mereka tidak pernah berharap anak didik mereka menjadi generasi yang bodoh, “gagap” teknologi, dan berbagai istilah lainnya yang negatif. Tetapi sayang, obsesi suci mereka tidak bisa mereka realisasikan secara maksimal dlam wujud nyata, karena seorang guru juga adalah manusia yang harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak, akibatnya pikiran mereka terpecah dan tidak lagi terfokus pada tugasnya sebagai guru serta tidak memiliki kesempatan untuk menambah wawasan keilmuan secara mandiri melalui berbagai kebiasaan ilmiah yang dilakukannya.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang kadung melekat pada diri seorang guru berakibat pada “harga” atau nilai prestise dari profesi keguruan di mata masyarakat. Mereka menganggap guru bukanlah suatu profesi yang bisa dibanggakan karena dari segi pendapatan masih jauh dibanding para profesional lainnya di negeri ini, padahal berkat tangan-tangan merekalah lahir para profesional dan cerdik pandai. Hal ini menjadikan profesi guru sebagai profesi yang termarjinalkan dewasa ini, padahal mereka adalah ujung tombak bagi keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Akibatnya, generasi muda yang benar-benar mempunyai cita-cita sebagai seorang guru jumlahnya terus berkurang dari waktu ke waktu, karena bagi mereka profesi sebagai seorang guru bukanlah profesi yang menjanjikan kesejahteraan secara finansial yang mampu menjamin kehidupan yang layak di masa depan.
Apa yang terjadi pada nasib guru saat ini sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan jaman dahulu. Pada jaman itu, guru merupakan profesi yang mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat, mereka disejajarkan kedudukannya dengan para menak dan bangsawan. Selain itu, mereka bisa hidup sejahtera sehingga pada diri mereka tumbuh rasa bangga menjadi seorang guru karena kemana pun mereka pergi akan banyak orang yang menghormati dan menghargainya, bahkan akibat kedudukannya tersebut masyarakat sekitar selalu memanggilnya dengan panggilan “tuan guru atau juragan guru”, suatu penghargaan yang saat ini belum tentu diperoleh seorang guru.

Marjinalisasi Profesi Guru
Marjinalisasi proefesi guru telah berlangsung sejak lama, yaitu sejak pemerintah melakukan penjaringan guru secara besar-besaran yang diiringi dengan pemberian insentif yang lebih rendah dibanding profesi lainnya, sehingga guru menjadi profesi yang disanjung sekaligus menjadi profesi yang terpinggirkan. Peningkatan karir mereka sering kali kurang jelas, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang pengetahuannya tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena berbagai keterbatasan serta kurangnya kesempatan yang diperolehnya.
Peningkatan kemampuan diri sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, karena guru secara pribadi wajib mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dia mampu mengimbangi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus bergerak cepat. Tetapi sayang, akibat kesempatan yang diberikan pemerintah terbatas dan tidak mampu menjangkau semua guru serta terbatasanya kemampuan finansial guru untuk meningkatkan kemampuan diri secara mandiri menyebabkan kemampuan dan pengetahuan serta wawasan yang dimilikinya tidak bertambah atau statis.
Tidak sedikit guru yang mempunyai kelebihan dari sisi finansial bermaksud melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dengan biaya mandiri tidak bisa melaksanakan niatnya tersebut karena memperoleh hambatan dari pimpinan dengan berbagai alasan, terutama alasan menyita waktu. Padahal apa yang dilakukannya tersebut merupakan upaya untuk turut meningkatkan kualitas pendidikan walau tidak secara langsung.
Kenyataan tersebut jelas berdampak pada kepercayaan dirinya ketika mengajar atau membimbing anak didiknya. Mereka cenderung statis, bahkan banyak diantara materi yang harus diajarkan terutama berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu dijelaskan secara maksimal kepada anak didiknya. Hal ini disebabkan ketidak-tahuan mereka akan materi yang harus dijelaskan, karena tidak mengerti dan tidak tahu. Akibatnya, siswa yang hanya mengandalkan guru sebagai sumber informasi utama menjadi tertinggal informasi sebaliknya siswa yang telah selangkah lebih maju justru malah mempermalukan guru di depan teman-temannya akibat ketidak mampuan yang diperlihatkan dalam menyampaikan materi pelajaran.

Peningkatan Kualitas Guru
Keberadaan guru dewasa ini walau dengan penuh kekurangan terutama dari segi kualitas diri, keberadaannya tetap sangat diperlukan guna menggerakkan roda pendidikan negeri ini serta mereka tidak mungkin secara massal dihentikan dan digantikan oleh guru baru yang profesional. Untuk itu, diperlukan suatu upaya yang mampu meningkatkan keprofesionalan guru yang telah ada saat ini sambil mempersiapkan generasi pengganti yang tentunya mempunyai kualitas yang lebih baik dibanding pendahulunya serta lebih profesional.
Peningkatan wawasan seorang guru dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan suatu yang penting dalam peningkatan profesionalisme sebagai seorang pengajar, tetapi sayang kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan banyak guru yang “gagap” terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, bahkan wawasannya tentang keilmuan cenderung statis. Hal ini sebagai kurang mampunya mereka dalam mengakses berbagai sumber informasi, seperti koran, majalah, jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta media Online. Ketidakmampuan tersebut terjadi karena waktu mereka habis untuk mencari tambahan penghasilan guna mencukupi biaya hidup layak, sedangkan untuk berlangganan tidak tersedia anggaran karena sudah tersedot oleh pos lain yang dianggapnya lebih penting.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru saat ini yang dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan kedinasan tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dibarengi dengan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Karena bagaimana mungkin Guru bisa profesional dalam menjalankan profesinya jika mereka masih disibukkan dengan upaya mencari tambahan pendapatan agar bisa hidup yang layak bersama keluarga. Sehingga salah satu faktor penting dalam memprofesionalkan guru serta mengangkat kembali prestise profesi ini, adalah melalui peningkatan pendapatan guru. Melaui pendapatan yang memadai mereka dapat hidup layak bersama keluarga dan mempunyai anggaran pribadi guna meningkatkan wawasan keilmuan dan keguruan yang dimilikinya, sehingga mereka tidak tertinggal oleh perkembangan Global yang tengah terjadi.
Pemberian kesempatan untuk mengikuti berbagai pendidikan kedinasan atau pemberian dukungan dan ijin untuk mengikuti pendidikan lanjutan dengan biaya mandiri merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pimpinan para guru baik tingkat sekolah maupun tingkat di atasnya guna meningkatkan tingkat kemampuan profesi seorang guru, karena bagi seorang guru keprofesionalannya hanya bisa dicapai melalui upaya belajar dan terus belajar agar tidak tertinggal oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang terus bergerak dengan cepat, serta mampu mengimbangi kemampuan murid yang sering kali dalam penguasaan IPTEK selangkah lebih maju.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Calon Guru
Selain meningkatkan tingkat profesionalisme seorang guru juga diperlukan peningkatan kualitas pendidikan Calon Guru, akrena melalui pendidikan guru yang berkualitas diharapkan akan lahir calon-calon guru yang mempunyai kualitas dan mampu menjadikan profesi keguruan sebagai profesi yang tidak kalah dengan profesi lainnya.
Salah satu usulan untuk peningkatan mutu pendidikan guru diusulkan oleh Fraksi PDIP di DPR. Mereka mengusulkan untuk mengalih-fungsikan STPDN menjadi Sekolah Guru Nasional (PR, 14/11). Usulan ini tentu bukan tanpa alasan, karena fasilitas yang dimiliki oleh STPDN sangat memadai bagi sebuah lembaga pendidikan, berbagai fasilitas penunjang pendidikan tersedia termasuk asrama yang dapat menampung mahasiswa sehingga calon guru dapat lebih berkonsentrasi pada studinya. Usulan tersebut secara sepintas jelas merupakan suatu solusi yang tepat bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena melalui Sekolah “pondokan” dengan fasilitas pendidikan yang menunjang diharapkan akan lahir seorang profesional dalam bidang pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Tetapi sayang, usulan ini kurang mampu menjawab persoalan yang sebenarnya terjadi, karena keberadaan seorang guru berbeda dengan pamong praja, karena seorang guru IPA akan berbeda dengan guru IPS atau Bahasa padahal lowongan tenaga kependidikan di sekolah atau suatu daerah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jadi tidak bisa digeneralisasi. Sehingga, Pendidikan Keguruan yang terpusat secara nasional belum tentu mampu memenuhi total keseluruhan angka kebutuhan guru di tiap daerah.
Dalam mengatasi kekuarangan tenaga guru yang profesional, upaya kongkrit yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan calon guru, adalah :
1. Daerah perlu membuka Sekolah Guru Daerah (SGD) atau IKIP Daerah dengan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai dan mahasiswanya direkrut dari Siswa berprestasi di daerah tersebut dengan sistem Ikatan Dinas yang sifatnya mengikat untuk jangka waktu tertentu, tujuannya agar para lulusan tersebut tidak lari ke daerah lain setelah mereka lulus. Melalui upaya ini diharapkan daerah akan mampu secara mandiri memenuhi kekurangan tenaga guru sesuai dengan kebutuhan.
2. Upaya pembukaan Sekolah Guru Daerah tidak harus dengan cara membuka Perguruan Tinggi Keguruan (PTK) yang baru, tetapi dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan PTK yang telah mapan dan ada di daerah tersebut. Dengan cara kerjasama yang dijalin, maka tidak akan muncul kecemburuan dari pihak yang dirugikan, terutama PTK swasta.
3. Memperketat pemberian ijin pendirian PTK atau program studi baru, karena longgarnya ijin menjadikan PTK dengan berbagai program studi yang sudah jenuh tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan.
4. Melakukan standarisasi yang ketat terhadap fasilitas pendukung PTK, karena melalui standarisasi yang ketat diharapkan tidak ada lagi PTK yang fasilitasnya tidak memadai.

Akhirnya melalui upaya yang dilakukan tersebut diharapkan akan lahir guru-guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar. Selain itu, melalui peningkatan kesejahteraan guru diharapkan profesi keguruan yang saat ini termarjinalkan dapat berubah menjadi profesi yang sejajar dan kembali menjadi profesi dambaan generasi muda. Semoga.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar